Saat matanya
menatapku, aku begitu yakin aku mencintainya. Saat dia melangkah tepat di
hadapanku, hatiku bergetar hebatnya. Aku tau aku anak baru yang mulai ngtren di
SMA itu. Aku gengsi mengatakan aku mencintainya, tapi rasa cintai ini begitu besar
untuknya. Dia sama sekali tak terlihat cool seperti cowok lainnya. Aku sangat
sadar itu. Dia tak pernah menyapaku, sepertinya dia tak pernah ingin
mengenalku. Memandangku, seperti memandang musuhnya sendiri. Alisnya mengkerut,
namanya Cenzo. Aku tak tau sampai kapan rasa ini bertahan lama untuknya, tapi
ku harap secepatnya aku akan berhenti mencintainya. Aku harap dia tidak lagi
ada di dalam fikiranku. Aku melihatnya sedang memainkan gitarnya, menciptakan
keajaiban dengan lagu barunya. Hatiku ikut bergetar mendengar alunannya, hingga
aku tak pernah sadar aku menatapnya terlalu lama.
"Kenapa
kamu menatap Cenzo lain dari biasanya? Kamu suka... Sama Cenzo?" Tanya
Icha dengan nada meledek dan seketika berubah menjadi kekhawatir tersendiri.
"Kamu
suka cowok seperti Cenzo? Ku harap jangan pernah. Olive sadar dong! Apa kata
orang nanti jika ketua cewek tenar di sekolah mencintai Cenzo? Yang hanya cowok
sederhana dan aneh itu." Vira melanjutkan ucapan Icha, dan Cenzo
mendengarnya.
"Hellow?
Mimpi kali ya, seorang Olive menyukai Cenzo. Enggak mungkin lah! Apa kata orang
nanti. Yang ada Cenzo yang mengharapkan cintaku, ya tapi enggak level!"
Aku
mengucapkannya, yang seharusnya tidak ku ucapkan di depan mata Cenzo. Cenzo
pergi dan tampak marah dan kesal dengan perkataanku. Mungkin dia berfikir aku
cewek paling ge-er. Terkadang aku ingin mengucapkan nama indahnya di depan
teman-teman. Aku masih harus menunggu waktu yang akan menjawabnya. Tuhan,
sampai kapan aku memendam dalam diam rasa ini. Aku seperti mengubur perasaanku
sendiri. Maafkan aku terlalu munafik menanggapi cinta ini. Sejujurnya aku ingin
mengatakannya, mengatakan perasaanku yang sebenarnya padanya. Terang-terangan,
tanpa bersembunyi di balik gengsi yang menyakitkan ini. Aku ingin Cenzo tidak
membenciku seperti ini. Aku memendam cintaku begitu lama. Sangat lama! Cenzo ku
harap kamu mengerti. Aku selalu ingin menjadi bagian terpenting dalam dirimu.
Ku naiki
tangga di sebrang kelas. Melihat dengan jelas cinta-cinta sederhana tanpa
kemunafikan. Raut wajah mereka tampak jujur mengatakannya. Sayangnya, itu semua
tak seperti rasa cintaku pada Cenzo. Mungkin aku yang salah dalam hal ini.
Cenzo tak pernah tau semua perasaan baru ini. Dia tak pernah sadar ada aku yang
menunggunya. Cenzo melintas di depan mataku, menuju ke perpustakaan. Entah
mengapa aku ingin sekali mengikutinya. Ku turuni anak tangga dengan harapan
baru. Mengikuti Cenzo diam-diam merupakan hobby tersendiri bagiku. Aku sering
mengikutinya, mendengar berbagai petikan gitar dan suara manisnya. Aku berfikir,
apakah seorang Olive anak ketua yayasan di sekolah tidak boleh jatuh cinta?
Jatuh cinta kepada Cenzo yang hanya sederhana? Tidak semewah yang aku punya,
tapi dia istimewa. Melebihi istimewa artis-artis yang ku kagumi. Aku
mengikutinya, melihatnya dengan kedua mata dan hatiku. Dia tengah asik membaca
suatu buku. Buku musik tepatnya. Dia pandai dalam hal apapun tentang musik. Aku
terus melihatnya. Bersembunyi di balik rak buku, menjatuhkan semua buku di
atasku. Aku mengambil buku itu sebelum Cenzo melihatku.
"Mau cari
buku apa?" Tanya Cenzo dengan nada dingin.
"em...aaa...em...
Buku??? Buku cara melukis dengan benar. Ya, maksudku aku ingin belajar
melukis...em... Ya itulah..." Gugupku seperti sedang berbicara dengan guru
paling galak sedunia.
"Ikut
aku. Akan ku carikan buku itu untukmu." masih dengan nada dingin.
Aku
mengikutinya, walaupun dia tak menengokku sama sekali. Terus mengikutinya dari
belakang. Mencari buku itu di sela-sela rak buku yang bertumpukan rapi.
Mencarinya satu persatu. Ini satu kesempatan untukku agar bisa memandang wajah
manisnya terlalu lama. Ini seperti mimpi berada di dekatnya. Hatiku berdetak
hebatnya, bibirku tak mampu berucap kata-kata. Yang aku ingin sekarang, aku
akan terus memandang wajahnya. Cenzo menemukan buku yang ku cari. Aku berjanji
aku akan menggambar wajah Cenzo dengan kedua tanganku suatu hari nanti. Entah
kapan, yang jelas itu pasti!
"Te..."
"Sudah
beres kan?" Tanyanya lalu pergi berlalu. Meninggalkan aku sendiri dalam
sunyinya suasana.
Aku belum
sempat berucap terima kasih padanya, dia main lari. Tapi, tak mengapa. Bisa
didekatnya selama tadi saja sudah membuatku merasa nyaman. Aku seperti tidak
memiliki keraguan mencintainya. Semakin hari rasa ini terus bertambah. Akan
selalu bertambah esok hari, esok hari lagi, esok hari sampai rasa ini hilang
sendiri. Guru mengumpulkan murid Fisika dan Biologi di lapangan, bertujuan
mengadakan camping di akhir pekan. Aku berfikir sejenak, ini kesempatan
untukku. Membuktikan cintaku kepada Cenzo. Sejak saat itu aku berlatih bermain
gitar dan berlatih menciptakan lagu untuk Cenzo. Walaupun terkadang
tangan-tanganku sakit karena pertama kali belajar menerjemahkan bahasa gitar.
Musik tak pernah ku sukai, tapi Cenzo menyukainya. Aku belajar menyukai hal
yang tak pernah aku sukai, karena Cenzo. Tak terasa bus sudah mulai berjejeran
di parkiran sekolah. Icha dan Vira tampak mewah dengan barangnya. Yang sama
sekali tak berguna untuk disana.
"Kamu
serius? Sangat sederhana sekali Olive penampilanmu kali ini. Hellow, ini
camping. Kita kan bisa foto-foto. Bisa upload di instagram. Bisa..."
"Itukan
yang kamu tau? Kamu tak pernah merasakan hidup susah? Tujuan kita camping untuk
apa, kamu tau gak? Agar kita mandiri, tau gimana rasanya jadi orang susah. Aku
capek ngomong sama kalian."
Aku pergi
meninggalkan mereka. Semakin lama aku semakin bosan dengan kehidupanku. Aku tak
pernah merasa tertantang dengan dunia jika aku terus seperti ini. Kami semua
mendirikan tenda, sangat sejuk jauh dari kota. Hening tanpa keramaian yang
bising. Aku menyukai udara seperti ini. Icha dan Vira sibuk berpose foto
layaknya bintang majalah. Aku membiarkannya. Kufikir memberi taunya sama sekali
tidak berguna. Aku tersadar, ternyata Cenzo melihat kegigihanku dari jauh.
Menjadi salah tingkah aku dibuatnya. Aku tak pernah menyangka dia
memperlihatkan senyum kecilnya yang mempesona. Sebelumnya aku selalu berfikir
Cenzo tak akan pernah memberikan bagian dari dirinya walaupun hanya senyuman
kecil untukku. Tapi kenyataan tak berfikir sepertiku. Mungkin akan jauh lebih
baik lagi jika aku menjadi temannya. Teman yang selalu mencintainya sejak lama.
Yang selalu di dekatnya saat semua orang akan menjauhinya. Mungkinkah itu
terjadi? Hanya Tuhan yang tau semua ini dan aku yakin Tuhanlah yang akan
memberitahu rasa cinta ini padanya. Tanpa harus aku menjelaskannya. Dalam diam
aku berdoa, menyelipkan nama Cenzo agar secepatnya mengerti. Aku yang tak mau
sedikitpun luput dari pandangannya.
Pembina
menyuruhku dan Cenzo mengambil air ke sungai pojok hutan sebrang. Aku bersyukur
bisa dekat dengannya lagi. Berjalan berdampingan bersamanya, berdua. Hanya
kita. Berterima kasih karena pembina tau isi hatiku. Hari mulai menggelap, kami
beristirahat di atas batu besar. Melihat matahari bersembunyi di balik
keramaian pepohonan. Cenzo tak sengaja memegang tanganku, aku gerogi dan aku
terpeleset. Tercebur ke air yang seperti es itu. Tubuhku tak mampu menahan
dingin. Aku ingin melepaskan genggaman tanganku dari batang pohon. Tapi apakah
aku masih akan hidup lagi? Menjadi sosok yang mencintai tanpa gengsi. Menjadi
yang lebih baik lagi. Jika itu bisa. Aku akan memilih pergi. Dan kembali
menjadi sosok yang baru. Dengan cintaku yang masih tersimpan untuk Cenzo. Cenzo
panik saat aku tak mampu lagi bertahan di air dingin, dia menceburkan diri
untuk menolongku. Bagiku inilah hal paling so sweet yang pernah Cenzo lakukan
untukku. Aku bisa melihat sorot matanya sangat peduli denganku. Seakan takut
kehilangan aku.
"Maafkan
aku, terlalu lama berdiri di atas sana sedangkan kamu kedinginan diterpa arus
yang melawan tubuhmu." Katanya mengenakan jaketnya yang ia gantungkan
dipohon besar itu untukku.
"Tidak
mengapa, kamu menolongku pun aku sudah sangat bersyukur. Aku kira kamu akan
meninggalkanku sendirian di sini. Membiarkanku terbawa arus sampai di ujung
sungai. Bukankah sama saja menolongku dengan tidak menolongku. Bukan kah itu
tidak membuatmu merasa lebih baik?"
"Sebenarnya
dari kecil aku sangat takut dengan air deras seperti itu. Kakakku meninggalkan
aku karena air itu. Saat itu aku menyesal tak menolongnya. Aku menyesal karena
aku yang mengajaknya berenang bersamaku. Walaupun aku tau kakak tidak mahir
berenang saat itu. Aku terus memaksanya dan akhirnya semuanya begitu cepat
terjadi. Semenjak saat itu aku takut jika melihat air deras. Karena itu hanya
mengingatkanku pada peristiwa yang menimpa kakak. Hal itu masih teringat jelas
di otakku, padahal saat itu aku masih kecil. Itu sebabnya aku menolongmu. Aku
takut kehilangan kamu. Emmm... Maksudnya aku tak ingin kejadian itu terulang
lagi padaku."
"Maafkan
aku membuatmu mengingat kenangan pahitmu."
Cenzo tidak
menjawabnya, dia mengajakku untuk segera pulang karena dia yakin teman-teman
lainnya pasti akan mencari kami. Aku masuk ke tenda dengan baju yang masih
basah dan masih mengenakan jaket Cenzo. Bagiku aku merasa hangat, seperti dalam
pelukan Cenzo. Aku tak ingin melepasnya kecuali dia yang meminta. Pagi hari
buta aku melihat Cenzo tengah menikmati pekerjaan barunya mencari kayu bakar
untuk api unggun malam nanti. Kami semua tau, Cenzo bagian dari penata acara.
Aku melangkahkan kaki menghampirinya. Ku lihat lesung pipi terlihat jelas di
wajahnya.
"Cenzo,
aku ingin membantumu. Walaupun itu sekecil batu." Kataku pagi itu. Yang
tengah berfikir apa jawabannya tentang pernyataanku. Aku sedikit malu
mengatakannya, walaupun butuh keberanian khusus mengungkapkan kata sesingkat
itu.
"Kenapa
aku harus menolaknya? Satu hal yang ku tau, membantu tak ada yang ternilai
sekecil batu bahkan malah sebesar batu yang kita temui di sungai kemarin."
Tawanya lepas.
Kami menyusuri
hutan lebih dalam lagi. Aku terjatuh dan kaki ku tergores. Darah segar keluar
dari dalam tubuhku. Aku tak bisa berjalan dan Cenzo menggendongku. Aku tak
menyangka dia akan seromantis ini padaku. Aku duduk lemas di bawah pohon besar,
mungkin raut wajahku memperlihatkan begitu letihnya aku menahan rasa sakit.
"Terkadang,
aku merasa tak berguna dalam hidupku. Aku merasa aku satu-satunya orang tak
beruntung di dunia. Aku hanya bisa diam saat semua orang bergerak. Hanya bisa
lemah saat semua orang masih merasa kuat. Hanya bisa membuang uang saat semua
orang tengah mencarinya. Apa ini hal yang wajar Cenzo?"
"Ini
justru lebih baik karena kamu mengakuinya. Enggak ada kata terlambat Olive.
Berusahalah menjadi yang lebih baik. Dan yang lebih baik lagi. Kamu pasti bisa.
Aku yakin itu. Sosokmu yang sebenarnya masih belum terlihat. Bukan berarti
tidak pernah terlihat. Kamu bisa memperlihatkannya kepada semua orang. Kamu
bisa membuktikan ucapanmu benar. Kamu bisa kuat dengan keadaan yang memaksamu
untuk lemah. Kamu bisa apapun itu asalkan berusaha. Kita tak tau bagaimana
Tuhan menjelaskan kekalahan kita, yang pasti Tuhan telah memberikan keputusan
terbaiknya. Dalam hal apapun yang kamu jalani. Em...mungkin ini sudah terlalu
siang kita disini. Sebaiknya kita pulang, istirahat, mempersiapkan segala
sesuatu untuk nanti malam."
Dia mengatakan
hal semanis itu yang membuatku tidak percaya. Aku tau semua orang benci
perubahan, tapi aku tidak. Aku justru menikmatinya karena cintaku pada Cenzo.
Cenzo, jika memang benar keputusan Tuhan yang terbaik, berarti tanggapanmu yang
tidak pernah mencintaiku itu juga yang terbaik? Tuhan membiarkan aku memendam
rasa ini. Berarti ini juga keputusan yang terbaik?
Aku tak
percaya Cenzo menggandeng tanganku. Mengajakku pulang dengan tangannya yang
masih melekat di telapakku. Cenzo pergi menyiapkan sesuatu entah apa. Aku
terbaring di dalam tenda. Ternyata perubahanku jauh lebih membuatnya merasa
nyaman. Cenzo tunggu aku malam nanti. Saat ku utarakan perasaaanku hanya
padamu. Aku terus berlatih lagi, dengan semangat, giat, dan sungguh-sungguh.
Angin malam menyapaku dengan hangat, walaupun sebenarnya itu terasa sangat
dingin. Aku bersiap diri melakukannya.
" Olive
apa kamu serius melakukannya? Kita lebih baik mundur menjadi temanmu daripada
harus berteman dengan orang seperti Cenzo. Itu bukan hal yang baik Olive!"
Tegas Vira membalikkan badan diikuti mengkerutnya alis Icha.
"Memang
sebenarnya ini yang aku mau. Apakah mencintai Cenzo harus sesulit ini? Apakah
aku lebih baik diam menanggapi cinta tersembunyi ini? Cenzo bisa melihat,
mendengar, merasakan hal sama seperti kebanyakan orang? Apakah yang seperti itu
tidak layak dicintai? Lalu, seperti apa yang kalian mau? Berpenampilan mewah?
Bukankah cinta tidak seperti itu? Bukankah cinta apa adanya? Aku tau kalian tak
pernah suka kehadiranku. Aku tau kalian membenciku sebagai teman. Aku tau
kalian ingin memanfaatkanku. Jangan fikir aku tak pernah tau tentang hal
itu."
Aku pergi,
berdiri ditengah-tengah semua orang yang baru saja kumpul menyambut api unggun.
Aku berusaha menenangkan diri, aku yakin ini akan berjalan lancar seperti yang
aku harapkan.
"Mungkin
aku memendam rasa ini begitu lama. Tapi aku tak ingin menyembunyikan rasa ini
selamanya. Ada saatnya juga rasa ini sampai ke telinga cowok yang aku suka. Aku
tak pernah tau apakah ini benar-benar cinta. Tapi sekarang aku yakin ini cinta.
Aku memendamnya dalam diam. Menutupnya dengan gengsiku. Jika saja aku tak sadar
akan hal itu, mungkin aku akan kehilangannya. Aku terlalu capek menyimpannya
sendirian. Tak pernah ada satu orang pun tau tentang ini. Lagu ini, aku
ciptakan untuk orang yang mampu membuatku jatuh cinta, membuatku bangkit dari
keterpurukan, membuatku berubah menjadi lebih baik. Aku mencintaimu
Cenzo!"
Aku mulai
memetik dawai panjang itu. Ku nyanyikan dengan lantang lagu ciptaanku.
"Ku tak
ingin bersembunyi. Dalam rasa cinta ini. Ku tak ingin menutupi. Rasa cinta
dengan gengsi. Ku fikir mengenalnya indah. Ku fikir ini jatuh cinta. Aku
memandangnya terlalu lama. Ku sadar aku menci...."
Cenzo berdiri
tepat di depanku, mungkin hanya berjarak dua meter dari langkahku. Tiba-tiba
seseorang merangkul Cenzo, sontak tangan ini berhenti bermain gitar. Aku tak
menyangka cinta ini bertepuk sebelah tangan. Sangat sakit melihat Cenzo bersama
cewek lain yang memberatkan hatiku. Dia tak pernah menganggapku bagian dari
dirinya. Baginya mungkin aku seperti matahari merindukan bulan. Hatiku hancur
lebur karnanya. Harapan yang semula ku susun rapi kandas seketika. Mataku tak
bisa menahan tangis saat dia memintaku untuk mengatakan aku harus berhenti
mencintai Cenzo. Aku berlari, meneteskan air mata yang tak kunjung berhenti.
Kejadian malam ini sungguh sangat ku sesali. Cenzo mengajariku banyak hal
kemudian dia pergi. Cenzo kenapa kamu menyakitiku? Aku yang lebih dulu
mencintaimu! Bukan dia! Tapi aku! Aku selalu menantikan saat-saat indahku
bersamamu. Kenapa kamu memilihnya. Kamu tak pernah tau rasa cintaku yang begitu
besar untukmu. Kamu tak pernah tau betapa sakitnya menahan rasa ini untukmu.
Tapi setelah aku membuka isi hatiku, kamu menyakitiku. Tuhan, kenapa kisah
cintaku harus berakhir seperti ini? Apa ini semua salahku, memendam rasa cinta
ini untuknya? Salahku menjadi pemeran dalam sandiwara yang membuatku harus
kehilangannya.
Sinar matahari
menusuk sela dedaunan yang menyejukkan hati. Kami semua membongkar tenda pukul
10 pagi. Acara perkemahan itu adalah acara pelepasan siswa anak kelas 12 yang
baru saja selesai bergulat dengan soal-soal. Mungkin hatiku benar-benar harus
merelakannya. Cenzo kelas 12 dan dia akan pergi mencari sekolah yang lebih
tinggi. Aku harus mengubur perasaanku dalam-dalam lagi setelah menampakannya di
hadapan semua siswa. Walaupun begitu aku tak merasa malu, hanya saja kecewa
karena Cenzo meninggalkanku.
Hari-hari di
SMA berubah seketika saat anak kelas 11 naik ke kelas 12. Semua tampak beda
dari biasanya. Tak ada lagi seseorang yang mampu membuatku takjub melihat
senyumannya. Tak ada lagi seseorang yang mampu membuatku lari sangat kencang
saat melihatnya. Tak ada lagi seseorang yang membuatku diam mendengar suaranya.
Tak akan pernah ada lagi. Hanya sisa-sisa harapan mati. Yang tak tau kapan ia
akan pergi. Cenzo tak bisa menghargai perasaanku yang lebih padanya. Aku
mengira kita mempunyai perasaan yang sama, saling cinta. Hal itu terus
berlangsung lama, hingga akhirnya kelulusan tiba.
Weekend aku
melukis di tengah ilalang belakang rumah. Entah mengapa tanganku ingin sekali
menggoreskan canvas itu dengan wajah Cenzo. Aku mengikuti alur pensil itu.
Wajah Cenzo mulai terlihat. Itu yang membuatku tidak bisa melupakannya. Aku
teringat janjiku padanya, bahwa aku harus bisa menggambar wajahnya dengan
sempurna.
"Itu
gambar aku ya?" Tanya seseorang di belakangku. Mengenakan kemeja
kotak-kotak, memakai kacamata yang membuatnya semakin tampan. Aku berdiri
melihatnya. Apakah benar dia Cenzo. Apakah benar dia kembali untukku?
"Cenzo???
Untuk apa kamu kembali jika kamu membawa pedih lagi? Kamu tau gak aku benci
disakiti. Sangat benci! Tapi kenapa kamu melakukan ini? Ini yang disebut
mengerti perasaan? Aku capek disakiti. Aku capek menanti harapanku yang tak
kunjung pasti." Marahku, dia memegang tanganku yang penuh dengan
warna-warni cat.
"Maafkan
aku membuatmu menunggu terlalu lama. Maafkan aku membuatmu kecewa. Maafkan aku
jika ternyata juga aku mencintaimu dalam diam. Maafkan aku tak sempat
mengatakannya. Maafkan aku tak mengenalkannya. Maafkan aku tak menjelaskannya.
Maafkan aku atas semua perbuatanku yang menyakiti hatimu Olive. Jujur aku lebih
dulu mencintaimu sebelum kamu mencintaiku. Kufikir kamu tak pernah bisa berubah
dengan sikap manjamu. Tapi sekarang aku yakin kamu yang terbaik. Aku tau aku
terlalu jahat untukmu. Aku tau mungkin kamu membenciku. Sekali lagi maafkan aku
telah meninggalkanmu."
"Tapi
kamu pergi. Dengan cewek itu, berpegangan tangan dengannya. Apa itu tidak
terlalu sakit bagi cewek sepertiku? Aku tau aku gengsi mengatakan cintaku ke
kamu. Aku lebih memilih menguburnya dalam diam. Tak ada yang tau aku
mencintaimu. Tapi nyatanya, saat ku bilang rasa ini padamu, kamu tidak
menanggapi hal itu dengan serius. Mungkin bagimu aku anak ingusan yang hanya
bisa menyusahkanmu. Aku memang orang yang susah percaya dengan cinta. Karena
aku tak pernah sekalipun mengenal cinta lebih dalam. Tapi saat bersamamu semua
berbeda. Aku tau, aku tak pantas untukmu. Dan akan lebih baik lagi jika kamu
melupakanku Cenzo."
"Enggak
akan pernah, sekalipun kamu yang memintanya. Aku tau kalau aku hanya bisa
menyakitimu. Tapi aku melakukan semua untukmu. Aku merasa bangga telah
mengenalmu. Selama di SMA aku cuek sama kamu, karena aku takut kamu akan
melihat cintaku. Aku takut kamu akan meledekku seperti saat itu. Saat di
perpustakaan, sebenarnya aku sangat senang membantumu mencari buku melukis. Aku
ingin terlihat tak peduli denganmu. Aku belajar apapun hal yang kamu sukai.
Apapun itu walaupun kedengarannya sulit bagiku. Dan saat kita ditugaskan
mengambil air di sungai oleh pembina. Itu bagian dari rencanaku agar aku lebih
dekat denganmu. Dan yang paling aku kagumi adalah saat kamu membuka semua isi
hatimu untukku. Membuka pintu hatimu yang sebelumnya kau tutup rapat-rapat
untuk cowok seprtiku. Membuka terang-terangan walaupun aku tau kamu gengsi
mengatakannya. Aku sangat sedih jika harus berpisah denganmu. Aku ingin
merasakan satu tahun lagi SMA denganmu. Ingin sekali jika waktu bisa berputar
ke belakang lagi. Maafkan aku dengan sandiwara cintaku."
Cenzo
memelukku dengan sangat erat. Memberikanku lukisan wajahku sendiri dengan
buatan tangannya. Aku tak percaya apa yang dia lakukan untukku saat ini. Ini
mimpi yang sangat nyata. Harapanku yang sempat mati kini kembali. Menemuiku
lagi. Dengan harapan yang lebih pasti. Seperti biasa Cenzo membawa gitarnya. Memetiknya
dan bernyanyi dengan suara lirih tapi membekas di hati. Dia bernyanyi untukku.
Hanya untukku. Cenzo kembali, cintaku hadir lagi. Bersyukur aku tidak sempat
melupakanmu Cenzo. Bersyukur Tuhan mempertemukan aku denganmu lagi. Kali ini
aku tak akan pernah mengecewakan Cenzo dengan sifat manjaku. Jika mencintainya
adalah salah, aku tak ingin menjadi benar dalam hal itu. Tak akan pernah ingin!
Dalam diam aku mencintainya. Dalam diam aku kehilangannya. Dalam diam aku
memendam semuanya. Dan aku sadar, dalam kata aku akan melihatnya. Dalam kata
aku masih menyimpan cintanya. Dalam kata dia akan kembali dengan sendirinya.
Dalam kata cinta ini terucap yang sejujurnya. Mencintaimu adalah kesempurnaan
yang tak bisa terucap dengan kata-kata, tak bisa terdengar jika hanya
menggunakan telinga, dan tak bisa terlihat jika hanya menggunakan mata. Serta
tak bisa terasa jika hanya menggunakan tangan yang memegangnya. Peran hatilah
yang paling penting! Selalu! Setiap saat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar