Kamis, 02 April 2015

konflik cerita "Fanfiction APril"


“Pilar, kumohon sekali lagi...” –Dara-
Aku menghampiri Pilar di tengah hamparan pasir putih. Dia masih sama. Masih saja mengenakkan jaket bertudung itu. Dengan celana panjang serta harmonika di genggamannya. Membuatku sadar, dia begitu sangat tampan. Dia mulai memainkan harmonikanya yang terdengar sangat indah. Menjadikan aku tak dapat menyembunyikan rasa kagumku padanya. Rata-rata, pilar bersikap beda dari biasanya. Tak kusangka, hal itu bisa jauh lebih berarti
Tapi, aku membenci perlakuannya. Tidak sadarkah dia, aku tidak terlalu berharap ia melakukannya. Ini seperti kejadian yang pernah ku bayangkan. Dan aku tak tau apakah dia akan melakukan sesuatu yang sama seperti yang ada dalam bayanganku? Aku menepuk kedua pipiku, kurasa ini memang kenyataannya. Aku tidak sedang membayangkan wajah Pilar. Memang Pilar yang ada didepanku
“Pilar, apa ini? Apa maksud lo?”
“Emm..aaa...em... Dara, gua pengen lo ngerti tentang perasaan gua. Tentang gua yang ga pernah mau jauh dari lo. Tentang rasa cemas gua ke lo. Dan itu yang ngebuktiin kalo gua beneran cinta sama lo. Gua tau ini terlalu cepat buat lo. Tapi lo sumber dari semangat gua. Lo yang udah buat apapun yang gua rasain sempurna. Gua harap..”
“Pilar, maaf gue gabisa. Selama ini gue gapernah berharap kata itu muncul dari lo. Gue tau lo sayang, lo cemas sama gue. Tapi gue gamau hancurin persahabatan kita yang kita jalani sejak kecil. Gue pengen kita tetep sahabatan aja. Enggak lebih lar...”
“Tapi kenapa ra? Gua tau persis perasaan lo ke gua juga sama. Gua udah nyusun rencana ini sebaik mungkin, karena gua gamau lo kecewa”
“Gue bener-bener gabisa terima lo sekarang. Ada alasan yang emang mengharuskan gue sama lo itu engga lebih dari sebatas temen. Dan alasan itu gabisa gue jelasin ke lo. Bukannya gue ga ngehargain usaha lo buat gue. Tapi karena gue lebih sayang sama persahabatan kita daripada gue sama lo pacaran. Sekali lagi maafin gue”
Aku pergi meninggalkannya sendirian. Aku tau cowok itu kecewa karena keputusanku. Tapi Pilar, andai kamu tau. Ini jalan terbaik untuk hubungan kita saat ini. Aku tak ingin kamu kecewa lebih dalam mengenai hatiku. Pilar, aku ingin sekali menahanmu. Aku ingin sekali merajut mimpiku denganmu. Tapi aku tak mampu. Aku lebih baik mundur menanggapi perasaan tersembunyi ini. Perlu disadari, aku memang telah mencintaimu. Menyimpan rapat-rapat semua tentangmu.
Ia mendekap tubuhnya. Aku tak tau apakah ia menyesal dengan perlakuannya sendiri. Setangkai mawar merah itu terjatuh. Pilar tak sadar aku masih menunggunya di balik pohon. Tiba-tiba saja hujan mengguyur tempat ini. Pilar masih saja tak mau beranjak dari tempat yang ia duduki. Mungkin ia masih butuh waktu untuk memahami. Aku merasa aku telah menyingkirkan ambisi Pilar dan juga harapanku sendiri.
Akhirnya malam semakin larut. Hujan telah berlabuh di pangkalannya dan berganti dengan gerimis kecil. Pilar akhirnya pulang, dengan harapan yang telah hilang. Aku mengusap mawar yang basah dan rusak karena tersapu hujan. Kelopak-kelopaknya masih utuh. Aku mengambilnya dan ku putuskan untuk pulang.
Pilar, maafkan aku. Bulan itu indah, walau aku tau aku sedang terluka. Setidaknya, ini usahaku untuk membuatmu tak akan pernah mencintaiku lagi. Pilar, andai kamu tau. Aku bertahan dengan rasa sakitku karena mencintaimu. Tapi apakah kamu memikirkan hal yang sama? Aku ingin kita masih seperti kemarin. Pilar, andai kamu tau. Aku hanya menetapkan satu tujuan yaitu bersamamu. Selebihnya, aku mengiyakan rintangan saja. Kepedihan ini seperti menusuk hati. Ku akui aku tak bisa menyembunyikan kekosongan hati ini. Aku benar-benar membutuhkanmu.
Wajahku memucat saat mama menyambutku didepan rumah. Ia tau aku menangis bukan tersenyum lagi. Mendapati tubuhku yang kedinginan dibalut air hujan, mama mengambil handuk lebar. Hatiku terasa mencair terkena terpaan terikan kata-katanya. masih terngiang penyesalan. Apakah itu artinya harapanku tak lagi berarti.
“Pilar, adalah bagian terpenting, dan aku.. aku..”
Tangisanku mendekap tubuh mama. Pilar selalu mengjariku untuk selalu tersenyum, tapi kenyataannya aku masih bisa menangis jika hanya berbekal kata-katanya. kami duduk disofa yang menghadap piano. Aku menceritakan semuanya. Masalah rumit yang menimpaku dan juga Pilar. Itu semua gara-gara cinta, ia mengecewakan ku dengan usapan lembutnya. Kalaupun segalanya harus beracuan pada cinta, kalaupun seseorang harus melangkah dengan cinta. Aku akan memilih diam, karna persahabatan lebih utama dari rasa yang menyesakkan dada itu.
“Sayang, cinta itu penting. Tanpa cinta seseorang akan menjadi sekeras baja. Ia bagaikan piano milikmu itu. Ada kelemahan ada pula kelebihan. Namun cinta selalu memberi perubahan yang baik untuk masa depannya. Cinta seperti melody. Ia tak bernyawa namun ia punya rasa. Ia peduli terhadap pihak yang ia putuskan untuk bersamanya. Jika kamu merasakan sakit, cinta yang hinggap ditubuhmu lebih sakit. Maka nikmatilah kesedihanmu, agar ia mampu menyembuhkan”
***
Esok itu aku menemukannya di sudut kelas. Ku hampiri raganya disela pandangannya. Dia tampak masih sangat kecewa. Rasanya, aku telah menghantamnya dengan pukulan tajamku. Aku mendekatinya dengan sedikit cemas, aku takut ia akan membenciku. Aku bisa memahami dirinya banyak fikiran. Bagaimanapun juga, aku belum pernah merasakan sepertinya. Dan kurasa itu lebih perih dari yang ku rasakan sebelumnya. Hanya pemahaman sejati yang bisa meluluhkannya
“Pilar?”
“Maaf ra, gua sibuk!”
Pilar beranjak pergi. Ia melepaskan tanganku yang menguntainya. Tuhan, apa aku telah jauh membuatnya terluka. Aku menatap dengan pandangan kosong. Tak ku tau makna yang ku tuju. Harus ku akui, aku harus melontarkan kata maaf padanya. Tapi bagaimana bisa? Jika saja Pilar masih saja menghindariku. Apakah sudah terlambat jika aku mengatakan aku mencintaimu? Kenapa waktu begitu terasa sangat lama saat aku tidak sedang bersama Pilar.

***