Rabu, 20 Agustus 2014

Karena Kamu Indonesiaku



Udara pagi masih terasa berhembus ke ujung saraf paling dalam. Masih merasakan dingin yang tak terduga sebelumnya. Desahan air tak kunjung terhenti. Lajuan mobil menghampirinya. Melawan rintikan air hujan ke arah sekolah. Naomi dan Sam adalah pasangan yang sama sekali terlihat tak serasi. Mereka bertemu saat pelantikan pengurus osis setahun yang lalu. Keduanya dipertemukan dengan perbedaan sangat nyata. Sambil menunggu hujan reda, Naomi dan Sam menyiapkan keperluan untuk MOS. Selalu terlihat mesra mereka berdua. Peluitpu memecahkan suasana hening. Menandakan siswa baru harus berkumpul melaksanakan MOS. Tiba-tiba salah satu siswa terjatuh dan terluka. Sam menggendongnya
"Sam?" Ucap Naomi lirih, tapi sam tak memperdulikannya. Naomi terus mengikuti dua orang yang sangat serasi itu. Sam mengobati lukanya dengan penuh perhatian
"Sam??" Sapa Naomi yang terdengar seperti tak menyapa.
"Apa?" Kata Sam cuek, sambil melihat mata Naomi.
"Kamu gapernah seperhatian itu sama aku? Kamu juga menatapnya lebih dalam daripada aku?!" Kali ini ekspresi Naomi sedikit memperlihatkan kesedihannya.
"Kenapa sih kamu kekanak-kanakan gitu? Kamu tau kan ini memang udah kewajiban aku sebagai kakak kelasnya untuk menolongnya."
"Ya tapi gausah bersiap semanis itu! Apa kamu peduli sama pacar kamu ini? Kamu gapernah ada waktu untuk aku! Sedikitpun! Tapi sama dia? Kamu beda!" Naomi marah dan meninggalkan Sam bersama siswi yang masih terbaring di ranjang UKS.
Kali ini Naomi benar-benar marah dengan perlakuan Sam. Hatinya bimbang, apakah Sam menyukai siswa tadi. Esok hari Naomi menunggu kehadiran Sam di halaman rumahnya. Tapi Sam tak juga datang. Akhirnya jam mendarat tepat di angka tujuh yang membuat Naomi harus menerima hukuman tepat di bawah tiang bendera. Naomi akhirnya terjatuh pingsan dan terbangun di UKS bersama Sam.
"Kenapa sih kamu bisa dihukum gitu? Itu nyiksa kamu tau ga? Aneh!" Marahnya kepada Naomi
"Kamu mau salahin aku lagi? Kamu sadar ga kenapa aku bisa dihukum? Itu semua karena kamu! Aku nungguin kamu pagi tadi! Kamu jahat tau ga!" Kata Naomi sambil terbangun
"Maaf! Maafin aku Naomi! Aku sayang kamu!"
Sam memeluk Naomi diikuti senyuman kecil Naomi. Mereka kembali akrab seperti biasa. Menjalani situasi-situasi sulit berdua. Siang itu juga Sam meminta Naomi untuk pulang lebih awal karena ada tugas Sam harus segera diselesaikan. Mulai hari itu juga mereka tak pernah ada waktu untuk bersama lagi. Saat pelajaran dimulai Sam lebih banyak menghabiskan waktu di lapangan. Hari terus berganti. Sam semakin tak terlihat di depan Naomi lagi. Dan yang tidak diduga sebelumnya, Sam berada di lapangan bersama siswa yang ditolongnya kemarin.
"Jadi ini alasan kamu? Kamu lebih pilih luangin waktu buat dia daripada sama aku? Kita baru aja baikan karena masalah kamu sama dia! Sekarang masalah kamu sama dia terulang lagi! Aku tak pernah menyangka, ternyata kamu benar-benar menyukainya. Menyukai pengibar bendera di 17 mendatang!"
"Tolong jangan buat masalah baru untuk hubungan kita saat ini! Harusnya kita saling percaya. Menjaga hati kita!"
"Percaya? Apa kedekatan kalian bisa membuatku percaya? Kamu kenapa sih? Kamu gapernah sadar gimana rasanya mencintai seseorang dengan perbedaan ini!"
"Kamu harusnya bisa contoh dia! Dia lebih baik dari kamu! Dia lebih hebat bisa menjadi paskibraka! Sedangkan kamu? Apa kamu bisa membuatku bangga dengan usahamu? Aku lebih tertarik dengan cewek yang mampu membanggakan Indonesia!"
"Udah cukup bandingin aku sama dia?! Aku tau aku ga sempurna seperti cewek kriteria kamu. Aku tau itu! Aku memang terlalu lemah untuk menjadi bagian dari paskibraka! Tapi bukankah cinta harusnya apa adanya? Bukankah cinta harusnya menerima kelemahan pasangannya? Sekarang aku sadar kita memang harusnya tak bersama!"
"Maksud aku bukan gitu Naomi!"
"Trus apa maksud kamu Sam?! Kamu mau putus?"
"Aku cuma minta kamu hargai kewajiban aku sebagai pelatih paskibraka! Aku cuma menuntut kamu berjuang demi aku! Aku cuma mau kamu kibarkan bendera merah putih demi kita! Kalau kamu ga bisa jadi paskibraka tanggal 17 mendatang, sebaiknya kita akhiri saja hubungan kita saat ini!" Kata Sam pergi menggandeng cewek itu
Hati Naomi sakit. Dia sadar dia tak mungkin bisa bersama Sam lagi. Mengapa perpisahan datang saat hati terlalu mencintai? Saat ini dia benar-benar yakin, dia tak mungkin bisa menjadi paskibraka seperti yang Sam minta. Tubuhnya terlalu lemah untuk hal itu. Dengan sangat berat hati Naomi memilih pergi meninggalkan keluarganya serta sekolahnya untuk beberapa hari kedepan. Itu semua karena Naomi terlalu letih jika harus melihat canda tawa Sam bukan bersamanya lagi.
Sepanjang jalan ia lalui sendiri. Tanpa fikir panjang dia memutuskan berhenti. Duduk di sela-sela rumput yang menghiasi pinggiran rel kereta itu. Dia tak tau kemana lagi dia harus mencari. Jejak-jejak cintanya yang baru.
"Hey?" Sapa seseorang dari belakang Naomi
"Aku gapapa! Kamu tenang saja!"
"Why? Kamu terlihat murung dari tadi."
"Aku gatau harus kemana lagi aku melangkah. Aku tersesat di sini!" Kata Naomi berbohong
"Oh gitu? Yaudah kamu ikut rombongan kami saja. Naik ke puncak bukit di sana" menunjuk arah utara
Naomi pun mengikuti mereka. Yang tidak pernah difikirkan sebelumnya mereka adalah anggota paskibraka. Naomi belajar banyak dari mereka. Hingga tersadar kedekatan Naomi dengan Kak Virza menumbuhkan benih cinta. Kak Virza selalu berada di dekat Naomi. Mereka menyusuri setapak jalan yang memuncak dengan peluh letih. Anehnya Naomi merasa kuat dengan keadaan ini. Malampun semakin larut, mereka memandangi indah langit bersama alunan petikan gitar Kak Virza.
"Terkadang aku berfikir aku adalah yang paling lemah di antara kalian. Walaupun itu memang benar. Tapi aku juga pernah berfikir aku tak akan pernah bisa menjadi anggota paskibraka sekaligus mengibarkan bendera merah putih. Tapi hari esok akan membuktikannya. Bahwa aku bisa! Aku tak selemah apa yang aku fikirkan sebelumnya" ungkap gadis di sebelahnya itu
"Kelemahan memang ada. Tapi bukan untuk menjadikan diri kita tidak bisa melakukan apa-apa. Aku sebelumnya tak menyangka. Bagaimana mungkin aku menjadi paskibraka. Tapi kenyataannya memang seperti itu. Aku selalu mengiyakan rintangan yang ada di depanku. Karena aku ingin melangkah lebih maju, walaupun itu dimulai dari satu langkah saja. Percayalah kita bisa untuk menjadi yang terbaik Naomi. Dengan berusaha dan tekat untuk membuktikan kepada dunia kita lebih baik dari mereka" jelas Kak Virza
Naomi memeluknya. Kak Virza sudah seperti kakak yang selalu ada baginya. Tapi sayangnya Naomi berfikir Kak Virza juga menganggap Naomi sebagai adik. Padahal itu pendapat yang salah. Kak Virza sudah mencintai Naomi. Kak Virza juga berandai-andai, suatu saat nanti dia akan menyatakan rasa cintanya yang begitu besar untuk Naomi.
Matahari mulai menampakkan dirinya. Hari ini adalah hari terakhir Naomi melangkahkan kaki naik ke puncak bukit. Sekitar kurang 1 km lagi tubuh Naomi terasa sangat lemah. Rasanya tak mampu melangkahkan kakinya lagi.
"Kak Virza dan kalian semua lebih baik sekarang naik ke atas sana. Engga usah peduliin aku. Yang jelas kalian harus mengibarkan bendera itu sesegera mungkin." Perintah Naomi dengan lembut
"Kami semua tak akan ada yang melangkah ke sana tanpa kamu. Karena kamu masih bagian tim kita. Kita akan tunggu kamu sampai kakimu sembuh" tegas Kak Virza
Mereka semua menunggu kaki Naomi untuk segera pulih. Dan keajaiban benar-benar datang. Naomi mampu melangkahkan kakinya lebih jauh lagi. Dan akhirnya mereka sampai di puncak. Saat itu hampir jam sepuluh malam. Naomi mengerek bendera itu dengan mengenakan seragam paskibraka. Disana dihadiri banyak sekali anggota paskibraka yang lain dan menyaksikan Naomi mengerek bendera kebanggaan bangsa Indonesia.
Naomi tidak menyangka, kehadirannya saat itu sangat berarti. Naomi menangis bahagia
"Makasih Kak Virza sudah membuat aku mengenalmu. Aku sangat senang dengan pertemuan kita."
"Besok kita sudah harus kembali. Kita kembali ke rumah masing-masing. Besok aku akan menemanimu untuk mencari alamat rumahmu"
Esok hari mereka menuruni puncak. Naomi merasa puas dengan usahanya untuk menjadi paskibraka. Kak Virza berhasil melacak rumah Naomi dan beristirahat sejenak. Diam-diam Naomi ke sekolah dan bertemu Sam
"Sammuel" teriak Naomi
"Naomi..........? Buat apa kamu kembali? Aku mencari keberadaanmu yang tidak meninggalkan kabar sedikitpun. Sepertinya hubungan kita memang harus berakhir sampai disini. Kita memang memiliki perbedaan yang sangat nyata. Harusnya kita memang enggak ditakdirkan untuk bersama!" Kata Sam seperti menyesali pertemuan mereka
"Kamu bisa bilang gitu karena kamu gatau apa alasan aku untuk pergi! Dan apa alasan aku untuk kembali lagi. Mungkin kalau aku jelasin apa yang terjadi sama aku kamu juga ga bakal percaya. Oke... Aku mundur, terima kasih untuk waktu singkatmu!" Jelas Naomi pasrah
Dengan pertemuan mereka, Naomi sama sekali tak menyesalinya. Mungkin fikirnya, ini memang yang seharusnya terjadi. Tepatnya dua hari setelah kejadian itu Kak Virza mengajak Naomi ke taman kota.
"Naomi aku mau jujur sama kamu. Sebenarnya aku..."
"Naomi!" Teriak Sam diikuti lari kecilnya untuk memeluk Naomi. Sam memegang pipi Naomi
"Naomi, mungkin ini yang ke seribu kali aku minta maaf sama kamu. Tapi aku harap ini yang terakhir kali aku berucap maaf padamu. Sekarang aku tau alasan kamu pergi dan alasan kamu kembali lagi. Karena kamu mau buktiin kalau kamu bisa mengibarkan bendera dan menjadi anggota paskibraka. Aku tau itu semua karena ini, dia yang memberikan ini ke aku" memberikan handycam dan menunjuk Kak Virza. Naomi mendekati Kak Virza
"Terima kasih Kak! Kamu kakak terbaik yang pernah aku punya. Dan kamu tau isi hatiku yang sebenarnya sedang mengharapkan kehadirannya"
"Sama-sama Naomi. Kamu harus jaga cintamu baik-baik. Aku pergi ya. Aku harus kembali gabung sama tim lagi"
Naomi mengucapkan salam perpisahan kepada Kak Virza diikuti hilangnya Kak Virza di hadapannya. Sam menghampiri Naomi
"Naomi, aku sayang kamu. Apa kamu juga masih sayang sama aku atas perlakuan jahatku yang menyinggung hatimu"
"Maaf Sam, aku sekarang tak sepenuhnya cinta sama kamu. Karena cintaku sekarang ada pada negeriku, INDONESIA!"
"Aku tak salah memilihmu! Takkan pernah salah. Aku yakin cintamu masih tersimpan untukku. Mungkin akan selamanya menjadi milikku" peluk Sam kepada Naomi
Cinta memang rumit. Cinta tidak harus mencintai salah satu. Seperti Naomi, dia mencintai Sam dan Indonesia. Membagi cintanya dengan sebaik mungkin. Untuk menjadi terbaik tak sesulit yang kau bayangkan sebelumnya. Sebaiknya jalani saja apapun yang ada di depanmu saat ini. Dan melangkah lebih maju. Walaupun kembalinya Naomi dengan Sam menyakiti hati Kak Virza, tapi sekarang dia sadar. Siapa yang sebenarnya telah mencintainya sejak lama
"Sakit kan Virza? Mencintai seseorang yang sama sekali tak memberi cintanya kepada kita. Tapi kamu beruntung, aku lebih sakit cinta tak pernah mempedulikan usahaku untuk menunjukkan rasa cinta yang tak terlihat ini untuk seseorang yang selama ini ku kagumi. Cinta kita sama-sama bertepuk sebelah tangan" kata Kak Mitha dengan nada dingin.

Rabu, 06 Agustus 2014

Harapan Sepucuk Surat


Selalu hidup dalam kekosongan diri. Tak ada banyak tawa menghiasi. Selalu saja duka yang mengiringi. Aku rindu sosok manisnya. Teman kecil yang menemani segala macam bentuk nilai kehidupan. Semua tampak indah sebelum dia pergi. Inilah satu alasan aku tetap menunggunya disini. ditempat ini kenangan selalu melintasi
"Bukankah ini indah? Bunga-bunga bermekaran dengan sendirinya. Menghiasi sudut-sudut lapangan lebar ini. Terkadang aku ingin selalu hidup di tempat ini. Dan jauh dari rasa sakit yang menghampiri. Aku ingin terlepas dari beban masalah yang mengikat diri. Aku ingin lepas dari jeratan yang merantai hati. Hingga saat ini aku selalu menunggu takdir yang akan terjadi padaku. Selalu menunggu hingga saat itu benar-benar datang."
" Kamu siapa? Aku tak pernah melihatmu sebelumnya?"
"Reshalina M. Caliztha. Orang yang selalu hidup dalam sandiwara kehidupan. Yang tak pernah benar dalam setiap pengakuan. Dan selalu merasa sendirian saat beribu orang mendekat. Aku ingin mencari jati diri ku yang sebenarnya dengan bantuanmu. Bisakakah permohonan kecil ini kamu...?"
"Maaf Resha aku tak pernah ada waktu untuk itu. Aku selalu sibuk dengan apapun yang terjadi padaku. Aku tak pernah ingin mengenal orang lain lebih dari mengenalnya. Karena aku menunggu dia kembali. Dia penyemangat hidupku. Yang selalu ada waktu untukku. Tapi karena kamu tau tempat indah ini. Aku akan menolongmu dengan segala kemampuanku, Resha."
Aku mengatakan hal yang semestinya tidak ku katakan. Ini jauh dari hal yang ku bayangkan. Dan aku merasa lega dengan pernyataan itu. Aku merasa aku telah mengenalnya beribu tahun lamanya. Aku selalu merasa nyaman jika harus didekatnya. Setiap saat! Setiap kami sama-sama punya waktu. Untuk terus berdua memandangi langit di sela-sela ilalang. Aku mengajaknya main ke rumah. Ku lihat di sudut sofa sudah ada Zee. Cewek tomboy yang selalu menyemangatiku saat aku kehilangan sahabat kecilku. Aku mengobrol dengannya, bercanda tawa, sampai-sampai aku tak sadar Resha ada di dekatku sejak tadi.
"Aku ingin pulang..." Katanya penuh kebimbangan.
"Tunggu. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat indah yang belum pernah kau kunjungi. Ayo ikuti aku." Aku berdiri di depannya dan menarik tangannya. Memegang jemari lembutnya. Dan kami sampai di perbatasan air dan darat, yaitu danau dengan kapal yang sudah siap sejak tadi pagi. Dia begitu senang. Memang kedengarannya indah, gemercik air bagai sumber kehidupan nyata saat ini. "Rama, apakah terlalu aneh jika ada cowok mencintaiku? Apakah terlalu aneh jika cintaku akan berbalas? Aku bimbang dengan cintaku, aku bingung dengan pilihanku. Apa aku salah pernah mencintainya. Kamu pernah bayangin gak, kalo ada cewek suka sama kamu tapi enggak berani bilang perasaannya ke kamu?"
"Kenapa kamu tanya itu? Jika memang ada cewek yang seperti itu aku akan menghargainya. Karena lebih baik dicintai daripada mencintai. Bukan kah begitu Resha? Tapi aku fikir tak pernah ada cewek yang spereti itu" jawabku santai
"Kedengarannya sangat layak pendapatmu untuk didengar. Aku tau mengapa namaku Reshalina Mentari Calizta. Ya, karena hidupku mirip mentari. Yang selalu bersinar menyinari setiap orang yang melintasinya, tapi itu menyakitkan. Beda dengan lilin yang sama sekali tak sebanding. Orang-orang lebih memilih lilin karena cahaya lilin berguna. Berguna bagi hidup mereka."
"Kenapa kamu berbicara seperti itu? Bagiku kamu sempurna, lebih dari cewek manapun yang pernah ku kenal. Kamu beda dari cewek biasanya. Kamu kuat. Kamu tegar. Dan kamu hebat! Kalau ada yang lebih pantas untuk merasaakan ketidak sempurnaan itu aku. Aku orangnya. Yang selalu bersembunyi dalam diam. Tak pernah berani mengungkapkan perasaan. Padahal dia sangat dekat denganku. Kalau dia selalu butuh aku untuk menemaninya, aku selalu siap. Karena apapun kesibukkanku aku selalu punya waktu untuknya. Aku selalu punya waktu untuk melihat tawa kecil yang menyelinap di antara bibirnya. Dia yang paling istimewa bagiku. Ayo kita naik kapal."
Gadis itu hanya mengangguk. Menginjakkan kakinya di perahu. Aku sangat menyukai saat saat seperti ini, bersama orang yang sangat aku cintai. Dia memegangku dengan sangat erat. Aku berusaha menjailinya dengan pura-pura tercebur. Agar aku bisa tau seberapa besarnya rasa carenya padaku. Dia panik, dan sontak dia ikut tercebur ke danau. Dia menggigil kedinginan. Aku membawanya ke tepi danau.
"Maaf Resha. Aku terlalu bercanda. Aku keterlaluan."
"Enggak papa kok Rama." Singkat katanya.
Hari terus berganti. Musim pun ikut merayakannya. Resha bercerita tentang hidupnya yang selalu terikat dengan peraturan ayahnya. Dia tak pernah merasa tenang dirumahnya sendiri. Aku mengajaknya, menuliskan suatu permohonan pada balon di taman ilalang. Aku menuliskan
"aku tak pernah ingin orang yang di dekatku sekarang pergi jauh meninggalkanku" dan Resha menuliskan
"Aku ingin hidupnya bebas dari beribu jeratan peraturan ayahku sendiri."
Kami melepaskannya terbang tinggi sampai balon itu benar-benar diterima Tuhan. Aku yakin Tuhan mau mengabulkan doa Resha. Aku yakin itu. Karena dia orang baik, dia akan berguna untuk negara.
"Terima kasih Rama. Ini hal terindah dalam hidupku. Semenjakku mengenalmu hidupku menjadi lebih berwarna. Tangisku menjadi sirna. Berubah menjadi kebahagiaan yang tersirat di lubuk hatiku. Aku tak ingin kebersamaan ini cepat berakhir. Aku ingin disini. Selalu bersamamu setiap saat. Bersama teman sekaligus ketua tim basket disekolah."
"Emmm... Sebagai balasan dari semua yang kulakukan untukmu. Aku ingin kamu bermain sekaligus berlatih basket untukku. Karna aku ingin tau, seberapa hebatnya dirimu. Seberapa mampu kamu akan mengalahkanku. Apa kamu sanggup?"
"Basket? Tapi..... Oke aku mau asalkan masih bersamamu. Besok sore kamu menungguku di lapangan belakang sekolah. Karena aku tau aku harus menjadi penyemangatmu dua hari kedepan. Saat perlombaan itu tiba."
Aku tersenyum. Dia teman terindah saat ini. Dia yang mampu menggantikan teman kecilku dulu. Aku merasa bangga mengenalnya. Bangga dengan pertemuan kita. Dengannya aku lebih mengerti arti persahabatan yang sebelumnya tak pernah ku rasakan dan mungkin juga cinta hadir pada kita. Entah, aku tak tau perasaannya, tapi aku tau persis perasaanku yang memendam rasa cinta begitu besar untuknya. Sore itu dia benar-benar datang. dengan senyuman yang selau bersamanya. Kami bermain bersama hingga letih menghampiri. Dia merasa sangat letih. Tak pernah ku bayangkan fisiknya benar-benar selemah itu.
"Saya mengizinkanmu berteman dengannya bukan untuk membuatnya merasa letih. Dia tak seperti yang kamu bayangkan sebelumnya. Saya ingin yang terbaik untuk Resha. Sekarang kamu pulang Resha! Kamu tidak cocok bermain dengan orang yang hanya bisa membuatmu lebih sakit!" Kata laki-laki paruh baya yang ternyata ayah Resha.
"Ayah, kamu salah menilainya. Rama baik padaku. Aku kesini karena ini memang keinginanku. Dia tak pernah memaksaku sebelumnya."
"Kenapa kamu membelanya? Aku ayahmu. Aku yang lebih tau tentang kamu Resha! Bukan dia!"
"Maaf sebelumnya, saya tak pernah memaksa anak anda. Saya justru ingin yang terbaik untuk teman saya. Anda tidak berhak menghina saya. Om, izinkan Resha untuk menemukan jati dirinya. Izinkan dia untuk menjadi seperti yang lainnya. Om tidak tau perasaannya. Resha merasa tertekan dengan perlakuan anda saat ini. Resha jauh lebih merasa nyaman berada di sini bersama saya. Saya mohon izinkan dia untuk menjadi seperti yang Resha mau."
Ayahnya sama sekali tidak memperdulikan perkataanku. Dia menarik tangan Resha dengan paksa. Aku merasa kasihan dengannya. Aku tak pernah tau raut mukanya akan sesedih itu. Seprtinya ayahnya sangat marah padaku. Resha semakin jauh. Menaiki mobil ayahnya. Menangis disamping ayahnya sendiri. Aku tak menyangka. Ayahnya begitu kejam. Sangat melarang Resha untuk mencapai impiannya. Tapi aku tetap yakin. Walaupun kejadian tadi menyiksa hatinya dia pasti akan tetap datang untuk perlombaan basket ku di hari esok. Aku mempersiapkan segala macam perlengkapan basket ku. Aku merasa bersemangat untuk besok. Dan saat perlombaan pun tiba. Masing-masing tim telah memasuki lapangan. Aku mencari Resha. Kemana dia? Mengapa tak datang di acara penting ini. Resha kumohon, kamu tau kan ini satu-satunya cara agar aku lebih banyak dikenal. Peluit pun akhirnya tergetar dan pertandingan pun dimulai. Aku merasa tak konsentrasi dan aku kalah dalam perlombaan. Semua orang menyalahkanku
"Ketua macam apa kamu? Kenapa lawan yang segampang itu saja kita kalah. Kami semua salah memilihmu untuk menjadi yang terbaik."
"Maaf Rama. Aku terlambat dan aku mengecewakanmu. Aku membuatmu dibenci teman-temanmu."
"Puas kamu! Kamu udah membuat aku berteman denganmu dan kamu meninggalkanku saat hari pentingku. Sekarang aku sadar kamu irikan sama aku? Apa saja bisa aku lakukan dengan tanganku. Sedang kan kamu hanya bisa duduk lemah tak berdaya dengan harapan yang dilarang ayahmu sendiri. Aku tau kamu ingin sepertiku. menjadi terdepan karena prestasi bermain volly ku. Tapi apa? Sekarang kamu munghancurkan harapanku. Kamu jauh lebih licik dari yang ku kira. Aku tak menyangka kamu tega melakukan itu. Sekarang kamu puas? Mereka benci padaku, kamu bisa menggantikan jabatanku sebagai ketua! "
"Maksih Rama. Tapi aku merasa sakit hati dengan semua perkataanmu. Kamu lebih baik dari aku. Jauh lebih baik. Aku tak bisa melakukan apa saja yang aku inginkan. Aku sadar itu. Tapi asal kamu tau, aku tak pernah iri denganmu. Aku ingin yang terbaik untukmu. Dan ternyata ayah benar, aku salah menilaimu. Ini yang namanya teman? Selalu mengina kelemahan temannya sendiri. Terima kasih sudah membuatku melihatmu saat ini!"
Aku pergi meninggalkannya dilapangan. Kenapa dia marah denganku? Seharusnya aku yang marah dengannya. Sekarang aku kehilangan posisiku di tim basket ku sendiri. Resha begitu tega merenggut impianku. Aku ke taman ilalang itu. Aku berteriak meluapkan amarah dan kesedihanku. Aku tak menyangka dia begitu tega dan sangat tega. Padahal selama ini aku selalu menjadi bagian dari dirinya. Selalu membantu setiap kesulitannya. Aku marah padanya tapi aku masih peduli terhadapnya. Aku merasa bersalah dengannya. Aku sadar ini sama sekali bukan kesalahannya. Mungkin saat itu dia sibuk dan ada beribu alasan ketidak datangannya. Aku menyadari sudah seminggu lebih dia tak masuk sekolah. Aku takut perkataanku terlalu melukai hatinya lebih dalam. Aku mencarinya, bertanya kepada setiap orang yang ku temui. Kata kepala sekolah Resha telah pergi. Aku mencari ke rumahnya. Dan ayahnya mengajakku ke suatu tempat. TPU? Aku melihat nama Resha tertulis di batu nisan.
"Resha telah pergi lebih dulu meninggalkan kita. Saya begitu menyesal tidak sempat mewujudkan keinginan kecilnya. Saat itu saya menemukannya tergeletak di tengah lapangan basket sendirian. Saya membawanya kerumah sakit. Saat dia sadar dia benar-benar lemah. Dia meminta kertas dan pensil untuk menuliskan surat ini untukmu. Terima kasih Rama sudah membuat Resha mengenal dunia barunya. Selama ini saya selalu menyiksanya dengan obat-obatan yang di berikan dokter. Dia merasa terekan dan tak bisa bebas. Selama ini dia sakit kangker ganas. Dan dia tau sampai kapan dia akan bertahan. Dia mencintaimu, sampai saat ini pun rasa cintanya masih tersimpan untukmu. Saya pulang dulu ya Rama. Saya rasa saya mengganggumu."
"Resha kenapa kamu pergi? Aku belum sempat berucap maaf padamu. Aku salah menilaimu selama ini. Aku bodoh, aku lebih lama mengenalmu tapi aku tak pernah tau rasa sakitmu. Justru aku membuat hari terakhirmu di dunia menjadi lebih menyakitkan. Maafkan aku. Aku tak pernah percaya denganmu." Aku membuka surat Resha dan .........

Untuk teman paling baik yang pernah ku kenal Rama
Maaf...aku mengecewakanmu di hari pentingmu. Jujur aku tak punya maksud untuk itu. Saat itu aku tiba-tiba terjatuh dan ayah membawaku ke dokter. Saat semua orang lengah aku berlari untuk melihatmu menang. Tapi yang ku temui kamu kecewa. Aku tak tau jika ketidak datanganku membuatmu kalah dalam pertandingan. Jika saja Tuhan masih memberi kesempatan untukku. Untuk memutar kejadian di hari itu. Aku pasti melihatmu tersenyum di hari terakhirku. Aku Reshalina M. Caliztha adalah teman kecilmu dulu. Yang tak pernah tinggal tetap disuatu tempat karena penyakitku. Aku mencoba mencarimu kembali ke sini dan aku menemukanmu. Semua tampak lebih indah saat kita bersama lagi. Seperti dulu. Seperti semua beban telah hilang, terlepas dari diriku. Aku mencoba hal baru denganmu. Mencoba berbagai kesempatan terakhirku. Dari surat ini, aku ingin kamu tau bahwa aku tak pernah pergi di hatimu sebagai orang yang selalu mencintaimu dalam kesunyian, dalam kesendirian, dan dalam diam. Aku selalu menemani kapanpun dan dimanapun kamu. Karena kamu cinta terakhirku. yang selalu membuatku merasa terlahir kembali sebagai sosok yang baru. Sosok yang terbebas dari obat-obat yang selalu menusuk hidungku. Aku tau ayah ingin yang terbaik untuk kesembuhanku. Tapi cara ayah salah. Maaf aku terlalu cepat meninggalkanmu. Meninggalkan kenangan kamu dan aku. Ada saatnya mata ini berhenti melihat senyumanmu. Ada saatnya telinga ini berhenti mendengar kritikan manismu. Dan ada saatnya raga ini berhenti untuk selalu memelukmu. Ingatlah aku kapanpun kamu sanggup mengingatku. Aku akan selalu menjaga janji dan hatimu. Rama, sudah saatnya aku pergi meninggalkanmu. Aku ingin kamu berjanji padaku. Apapun keadaanmu saat ini, kumohon kamu jangan pernah lagi meneteskan air mata. Kecuali air mata kebahagiaan.

"Terima kasih membuatku merasakan kehilangan untuk yang pertama kali di hari di mana Tuhan mempertemukan aku denganmu di tempat yang sudah berbeda ini. Kamu ingat 8 Agustus, hari aniv kita untuk yang pertama kali. Terima kasih atas lukisan indahmu. Ini akan selalu membuatku untuk tidak berhenti mengenangmu. Semua yang kamu lakukan untukku, akan selalu ternilai dihatiku. Maafkan aku membuatmu lebih sakit dari biasanya. Jika waktu bisa berhenti di detik itu, aku ingin memandangmu lebih lama. Jika aku tau kamu akan pergi, aku tak akan mampu menggunakan fikiranku untuk menyakitimu. Aku membuatmu menahan rasa sakitmu terlalu lama. Aku hanya bisa membalas pengorbananmu dengan kata-kata yang mengiris hatimu. Aku tak tau bagaimana caranya menjadi sahabat yang baik. Sahabat yang tidak membuat luka baru di hatimu Resha. Aku gagal! Aku gagal mencintaimu dengan sempurna. Aku tak pernah bisa menjadi yang terbaik untukmu. Mengapa aku tak bisa menyampaikan rasa cinta yang begitu besar untuknya. Mengapa? Apa cintaku hanya bisa merapuhkannya. Apa cintaku menjadi beban baginya? Tapi aku berharap, semua yang ku lakukan untukmu. Akan selalu berarti di hidupmu. Karena semua yang ku lakukan tulus, apa adanya, tanpa syarat yang mengikatnya. Aku percaya takdir, dia akan mempertemukan aku denganmu lagi, di kehidupan selanjutnya, tanpa beban rasa sakit lagi. Aku tak akan menangis lagi, seperti yang kamu minta. Aku akan menjadi lebih dewasa. Menjadi lebih ternilai, walaupun itu tanpamu. Aku berjanji akan selalu tersenyum menyapa hariku. Karena aku tau, kamu selalu disampingku, setiap saat. Tanpa aku harus mencarimu lagi. Aku akan seperti orang bodoh kalau aku mencari seseorang yang setiap saat ada di dekatku. Aku sangat mengharapkan kamu datang di mimpiku. Dengan senyum lepas seperti dulu. Menampakkan kelingking, kemudian berucap salam persahabatan. Terkadang aku tersenyum sendiri jika mengingatmu. Karena wajahmu membuatku ingin memandangmu lebih lama. Tuhan, sampaikan salamku untuk bidadari yang sudah ada di dekatmu saat ini. Dekaplah dia, buat dia merasa hangatnya pelukanmu. Jangan biarkan dia meneteskan air matanya lagi untukku. Terima kasih tuhan, telah mempertemukan aku dengannya kembali, walaupun akhirnya dia pergi lagi. Pergi untuk yang terakhir kali dan sulit ku temui. Tapi, aku bangga dengan semua itu. Aku bangga pertemuan aku dengan Resha. Aku bangga mengenalnya. Aku bangga merasakan semua hariku bersamanya. Aku yakin tuhan akan mengirimkannya lagi. Sebagai sosok yang baru, nama yang baru, tapi jiwanya tetap Resha! Tetap Resha! Hanya Resha! Yang terbaik untuk hidupku!

Kembali Pergi


Aku tak pernah tau dunia baruku. Yang ku tau sekarang aku disini bersama hobby ku. Memang basket pilihan paling tepat untukku sekarang. Berlarian kencang, kesana kemari, memasukkannya ke ring, dan terlahir sebagai juara. Itu merupakan kesenangan sendiri untukku. Aku dapat bebas menikmati indahnya dunia ini. Tapi ini tak sebanding dengan rasa senangku saat pertama kali mengenal Gio. Saat itu aku melempar bola sangat keras hingga membentur kepalanya. Sontak rasa panik dan sesal hinggap di otakku. Aku menemaninya di UKS. Sebelumnya tak pernah ku fikirkan aku akan berurusan dengannya, satu-satunya cowok paling sombong di sekolah. Aku juga tak pernah terfikirkan dengan cara ini aku mengenalnya. Setelah beberapa jam dia sadar, dia tersenyum. Entah apa yang membuatnya tersenyum semanis itu.
"Maaf... Aku tak pernah ingin melempar bola itu ke arahmu, aku tak pernah mau punya urusan denganmu. Katakan apa yang mesti ku lakukan untukmu?"
"Cukup menjadi temanku sampai luka ini sembuh, aku akan memaafkanmu."
Aku mengangguk tanda setuju. Aku merasa bersalah dengannya jika aku tak menemaninya. Entah apa yang ada difikirannya. Apakah dia akan menjailiku sepoerti dia menjaili teman-temannya? Aku tak peduli, yang jelas aku ingin menebus rasa bersalahku. Aku merasa kasihan dengannya, gara-gara aku kakinya menjadi terluka karena terbentur dan harus memakai tongkat. Dan gara-gara aku juga dia tak bisa menunjukkan bakat kecilnya untuk ayahnya.
"Ayah sekarang tak bisa lagi percaya denganku. Bahkan dia melarang ku untuk mengembangkan hobby bermain gitarku. Dia bilang itu suatu hal sia-sia. Padahal saat itu kesempatan untukku, menunjukkan bakat terpendam ini. Sekarang harapanku kandas karena bola basketmu. Ayah sudah pergi ke luar negeri dan aku tak tau kapan dia akan pulang lagi."
"Sekali lagi, maaf... Aky tak pernah tau itu. Harapan besarmu hilang karena ulahku. Dan sekarang kamu tak bisa bermain gitar lagi." Dia berusaha bersikap tenang walaupun aku sangat tau hatinya pedih. Aku tak pernah tau bahwa cowok yang terlihat sombong dan angkuh seperti dia mempunyai cita-cita besar membanggakan ayahnya dengan bakatnya. Padahal selama ini, yang ku tau dia sangat menyebalkan.
Aku pernah berfikir aku akan menyesal mengenalnya. Tapi kenyataannya aku merasa nyaman dengannya. Dia cowok baik dan tegar. Dia tidak menjailiku sama sekali. Dia hanya memintaku untuk menemani hari sepinya. Orang tuanya tak pernah peduli dengannya. Hanya sibuk dengan urusan pekerjaan mereka. Sekarang aku tau, inilah sosok Gio sebenarnya. Bahkan dia tidak marah denganku walaupun aku penyebab rusak rencananya. Aku bersamanya, bukan sekedar menemaninya. Aku bercanda tawa dengannya, aku berlatih bermain gitar dengannya, aku membantunya berjalan tanpa tongkat. Hingga akhirnya kakinya benar-benar sembuh. Dan aku harus meninggalkannya.
"Terima kasih Rena. Teman yang selama ini selalu bersamaku. Menemani setiap langkahku hingga aku dapat berjalan kembali. Aku takkan pernah lupa. Apapun yang kamu lakukan untukku, akan selalu ternilai dihatiku. Sekali lagi terima kasih. Walaupun aku tau persis kamu tak pernah ingin mengenal cowok sombong sepertiku."
Dan dia melangkahkan kakinya untuk menjauh dariku. Dia tau tentang fikiranku yang tak pernah ingin berteman dengannya.
Aku pulang menyusuri jalanan tepi sawah. Ku lihat kakek tua memikul air yang ia ambil dari sungai terjatuh. Aku iba melihatnya dan aku membantunya. Walaupun baju seragamku harus basah, tapi hatiku bergerak untuk membantunya. Ada saatnya aku akan seperti kakek itu, memikul beban berat dengan kedua tanganku. Aku menyesal, selama ini berfikiran salah tentang Gio. Tapi aku takut jika harus berteman dengannya lagi, sedangkan dia tau aku tak ingin mengenalnya.
Esok hari aku terlambat masuk sekolah. Aku berlari dan ini memang benar-benar terlambat. Satu menit yang lalu gerbang ditutup. Aku terus meminta satpam membukanya walaupun aku tau ini sama sekali tak berguna. Gio ada di belakangku, menarik tanganku, dan mengajakku ke belakang sekolah. Dia juga terlambat dan kami memanjat gerbang belakang sekolah. Gio tersenyum, dia menggandeng tanganku menuju kelas. Aku dan Gio memang satu kelas yang sama. Tapi sebelumnya aku tak pernah ada hubungan lebih dengan Gio, selain tak pernah mengenalnya. Kami memasuki pintu kelas dan disambut hangat oleh pak guru.
"Wow... Yang sebelumnya tak pernah saling kenal menjadi sedekat ini. Teman apa pacar kok masuk kelas saja berpegangan tangan? Ayo murid-murid tepuk tangan dong untuk pasangan baru di kelas ini."
"E...enggak kok pak, aku sama Rena enggak ada hubungan lebih. Bahkan Rena tak pernah ingin mengenalku." Tegas Gio melepaskan genggamannya dari tanganku.
"Enggak usah bohong Gio, kami semua tau. Oh iya, karena kalian couple baru dan juga karena kalian terlambat masuk kelas. Bapak akan kasih suprise untuk kalian. Suprise yang membuat kalian masih tetap akan berdua. Sekarang kalian ke lapangan, berdiri tegak, dan nikmati masa hukuman kalian."
Sudah ku duga kata itu muncul untukku dan Gio. Alhasil, kami sekarang berada di lapangan, berjemur di bawah teriknya panas matahari. Walau terkadang peluh membasahi pipi. Gio hanya tersenyum tanpa memulai kata sedikitpun. Mungkin dia beranggapan aku tak ingin mengenalnya. Aku ingin sekali mengatakan ada yang beda tentang pendapatku yang dulu. Gio, aku ingin mengatakan kalau aku masih ingin menjadi temanmu. Bukan diam-diam saat aku sedang bersamamu. Pikiranku buyar, pengelihatanku pudar, dan akhirnya aku berada di UKS sendirian tanpa Gio. Aku kesal dengannya, kenapa dia meninggalkanku saat aku pingsan. Aku bangun, berdiri, dan melangkahkan kaki saatku dengar petikan gitar memecah heningnya suasana. Aku mengintipnya saat sedang memainkan gitarnya. Aku tak menyangka dia diam-diam menungguku dari luar. Gio memainkan gitar dengan alunan yang sangat indah. Terdengar merdu dan mengusik kalbu. Dia tampak kece dengan penampilan itu. Aku mendekatinya, ku sentuh pundaknya.
"Aku cuma mau bilang, maaf kalau selama ini aku bersikap cuek padamu. Entah kamu percaya atau tidak yang jelas pemikiranku sekarang beda dengan pemikiranku yang dulu tentang kamu. Dulu memang aku berfikir aku tak pernah mau mengenalmu. Tapi saat aku melihat ketulusan ada padamu, aku yakin kamu bukan sosok yang ada di fikiranku dulu. Kamu lebih mendekati kata sempurna untuk itu. Aku yakin kamu bukan cowok sombong dan angkuh seperti yang ku lihat jauh hari lalu. Kamu cowok kuat, cowok tegar, dan aku bangga mengenalmu. Aku ingin kita menjadi teman, bukan menjadi seperti tak kenal."
"Terima kasih Rena. Aku percaya dengan pemikiran barumu tentang aku. Aku tau butuh keberanian tinggi untuk mengatakkan itu. Dan aku sangat ingin berteman denganmu. Bahkan itu impianku sejak lama. Aku kagum dengan kamu sejak pertama kali aku melihatmu. Kamu terlihat cantik dengan hatimu. Dari dulu aku ingin sekali kita menjadi teman, tapi aku takut untuk itu. Aku tau kamu tak pernah ingin mengenalku. Tapi saat ini, kamu ingin menjadi temanku. Dan aku sangat menghargai itu."
Aku tersenyum, dia sangat baik padaku. Aku menunjukkan kelingkingku tanda persahabatan telah dimulai. Bola basket itu membuatku mengenal cowok kece itu. Aku tak menyangka bahwa aku akan sedekat ini dengannya. Kami selalu bersama, menghabiskan waktu hanya berdua. Mengajarinya bermain basket. Membaca buku di perpustakaan saat istirahat. Dan aku sadar aku telah hidup dalam cinta. Aku menyayanginya. Aku menyusuri lorong waktu setiap harinya dan masih bersamanya. Hingga kami duduk di bangku kuliah. Setiap roda kehidupan kita jalani bersama. Apapun yang terjadi, berada di bawah ataupun di atas.
Entah menapa perlakuan Gio sedikit berbeda tentangku. Dia mengajakku mendaki puncak yang membuatku semakin letih.
"Kamu tau ini hari apa? Bahkan karena kamu selalu sibuk, kamu lupa. Happy Birth Day Renata Daniswara. Aku tau mungkin ini terlalu sederhana. Aku membuatmu letih karena harus menaiki puncak. Tapi aku pengen kamu lihat indahnya matahari terbenam. Aku ingin kamu bangga dengan perjuanganmu."
"Kamu ingat tentang tanggal ini? Tuhan, maafkan aku, aku lupa dengan hari dimana engkau pertama kali mengizinkanku melihat dunia. Terima kasih Gio. Disaat semua orang lupa akn hal ini, kamu selalu mengingatkannya. Aku sadar harusnya dalam menanggapi hidup tak perlu mengeluh. Karena aku tau, ini hasilnya, hasil paling indah karena usahaku. Aku bersyukur Tuhan mempertemukan aku denganmu. Aku berharap aku akan terus bersamamu. Aku harap kamu yang terakhir untukku, untuk menjadi sahabat terbaikku. Dan aku berharap aku tidak akan pernah mengecewakanmu. Karena hal itu, aku selalu yakin kamu yang terbaik untukku. Ingatlah saat semua orang menjauhimu karena kesalahanmu. Aku orang pertama yang akan menghampirimu. Mengusap air matamu sekaligus memperbaiki semua kesalahanmu. Hidup memang berat jika kita tak bisa menikmatinya. Walau terkadang duka itu ada mengiringi kita. Tuhan pasti telah merencanakan semuanya. Tuhan tak akan mungkin memberi cobaan yang hambanya tidak sanggup menghadapinya. Kamu selalu sebagai bintang yang mengiringi gelapku. Sebagai awan yang selalu mengiringi setiap langkahku."
"Aku tau Renata"
Dia mengambil gitarnya dan memulai memetiknya perlahan. Gio bernyanyi untukku. Aku senang mendengar suara lirihnya. Gio adalah malaikat tak bersayap yang mampu mengubah hidupku lebih dari sempurna. Membuatku selalu merasa nyaman dengannya. Setiap hal yang ia perbuat, dia selalu menyadarkanku. Bahwa hidup itu ajaib. Hidup itu misteri. Dan hidup itu harus dinikmati. Karena sesungguhnya dalam hidup, terselip cinta abadi.
Suatu hari, saat ku tengah asik memandangi langit biru Gio menelponku. Mengajakku ke rumah makan yang ia janjikan. Aku mengiyakan karena aku sangat senang. Menyiapkannya dengan sebaik mungkin. Memilih baju dengan warna kesukaannya. Aku berfikir, apa yang akan ia katakan. Malam pun tiba, mengiringi setiap langkahku untuk bertemu dengannya. Aku berlari karena itu satu satunya pilihan paling tepat untukku. Tiba-tiba lampu terang menyilaukan mataku tepat di depanku dan hasilnya aku terbujur kaku di rumah sakit. Aku tak mampu lagi bertahan lama, kakak menyampaikan surat terakhirku untuk Gio.
Untuk Gio cowok Kece yang selalu ku kagumi
Saat itu aku memang benar-benar tak tau dengan apa aku menemuimu. Aku tau kamu menunggu, dan aku tau hujan pun menjumpaimu. Aku merasa diriku adalah yang terbodoh jika aku tak menghampirimu. Saat itu juga aku menyusuri jalanan itu. Yang semula hanya berjalan tetapi aku memutuskan berlari. Dan akhirnya peristiwa tak di duga itu terjadi. Entah mengapa aku bukan bersamamu tapi aku bersama dokter terbaring lemas tak berdaya. Harapanku malam itu pudar seketika. Aku bingung dengan cara apa aku akan menjelaskan ini. Aku terus memikirkanmu. Aku tau kamu marah akan hal itu. Dan aku meminta kakak menemuimu dan memintamu untuk berhenti mencari dan mencintaiku. Ku tulis surat ini agar kamu paham. Agar kamu mengerti, takdir memang berkata tidak pada kita. Karena aku tak pernah tau sampai kapan aku berjuang untuk rasa sakitku. Aku ingin lalui setiap detik bersamamu, tapi ini memang yang sebenarnya terjadi. Aku tak akan pernah bisa melawannya. Karena Tuhan telah merencanakannya. Aku tau keputusan Tuhan yang terbaik untukku dan untukmu. Dan ini memang sudah menjadi skenerio Tuhan. Aku tak bisa bertahan lama denganmu. Karena aku harus meninggalkanmu. Cinta bukan untuk dilupakan, tapi disimpan. Bukan juga untuk dibuang, tapi dikenang. Karena aku ingin kamu bangga dengan pertemuan kita, bukan menyesalinya. Aku harap surat terakhir ini membuatmu percaya kalau aku benar-benar tidak bersamamu sekarang, esok, bahkan seribu tahun lagi. Karena aku sadar, aku tak akan pernah bisa memilih untuk tetap tinggal. Belajarlah mencintai yang lain untukku. Terima kasih atas cinta dan semua yang pernah kamu lakukan untukku. Aku sangat menghargai itu tapi tolong berhenti mencintaiku Gio. Karena ini hanya beban yang tak bisa membuatmu bangkit dari keterpurukan. Aku harap saat aku tak pernah lagi bersamamu, kamu tak akan menghiasi pipimu dengan tangisan. Karena sejujurnya aku masih tetap ingin melihat tawamu lagi. Gio, satu hal yang harus kamu tau, beginilah caraku untuk mencintaimu.
TERIMA KASIH GIO SEMUA YANG KAMU KASIH BUAT AKU, TAK AKAN BERAKHIR SAMPAI DISINI!
"Rena aku tau ini yang terbaik untukmu. Aku tak akan egois membiarkanmu tetap bersamaku sedangkan kamu merasa kesakitan. Aku akan mengerti dan menerima keputusan Tuhan yang memang berat untukku. Pada mulanya aku beranggapan, aku orang yang paling menyesali kepergianmu, karena aku yakin kamu satu-satunya cinta yang aku punya. Tapi dari situ aku menyadari pada akhirnya aku memang harus benar-benar berfikir kedua kalinya untuk pemikiran itu. Karena aku tau, tangisku hanya membuatmu lebih terluka Rena. Ini hal terberat yang pernah ku rasakan untuk ke dua kalinya. Tapi dari sini aku belajar mengiklaskan orang yang memang bukan untukku. Walau cinta ini terlalu besar untuk hal itu. Aku belajar mengiklaskan semua tentangmu. Karena air mataku tak pernah lagi ternilai untuk itu. Rena, tapi kamu salah jika beranggapan aku tak bisa bangkit jika masih menyimpan cintamu. Aku mencintaimu, bukan untuk menjadikan diriku orang tak berguna lagi. Aku lebih bisa bangkit dengan cinta yang membuat aku kuat hingga saat ini. Aku tak akan menangis. Tapi Rena, aku ingin melihat senyum terakhirmu. Karena dengan cara itu aku akan iklas menerima kepergianmu. Dan dengan cara itu aku akan mengenal dunia baruku dan ku awali tanpa kamu di sisiku. Renata, aku tak pernah ingin kamu pergi. Kamu harus tau, kepergianmu tak akan membuatku menyerah mencintaimu. Aku merasa setiap detik, menit kamu selalu bersamaku. Sesuatu yang selalu baik-baik saja harus berakhir dengan penyesalan. Aku menyesal diam-diam mencintaimu. Aku menyesal menunda-nunda waktu untuk mengatakannya. Tuhan, ajari aku menjadi seprti yang Rena minta. Aku tak ingin dia pergi membawa duka. Tuhan, aku sayang Rena, jaga dia untukku. Biarkan dia tersenyum. Andai aku dapat bertemu dengannya lagi. Aku akan lebih mengerti arti pentingnya setiap detik bersamanya. Aku ingin merasakan kedamaian. Aku tau Tuhan, cinta tak selalu berakhir bahagia dengan orang yang benar-benar kita cinta. Andai aku bisa lebih memahami isi hatinya. Andai aku tak terlalu memaksa kehadirannya malam itu. Andai aku mengatakan lebih dulu perasaan yang ku pendam selama ini. Rena, kenapa kamu begitu yakin aku akan kuat menghadapinya. Menerimanya pun aku tak sanggup"
Aku tau dia ingin menangis, tapi dia menahannya. Aku tak bermaksud membuatmu menjadi seprti yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Gio, jauh dari sini aku sangat merindukanmu. Aku ingin memelukmu dengan kedua tanganku. Aku ingin melihatmu seperti saat pertama kali kamu mengenalku. Beberapa hari Gio terlihat murung. Dan akhirnya dia bangun dari lamunnya tentangku. Dia berlari kencang, entah kemana dia akan pergi. Dia menapakkan kaki ke jembatan tengah laut yang sangat indah. Dia berteriak, berulang kali memanggil namaku.
"Aku yakin kamu mendengarnya Rena! Dan aku tau, aku harus berbuat apa untukmu!"
Dia pergi ke tempat yang tak asing lagi. Tempat biasa kita bersama. Menghabiskan waktu luang berdua. Gio meniup lima balon berbentuk hati. Dan bertuliskan RENATA DANISWARA AKU SANGAT MERINDUKANMU! Begitulah caranya meluapkan kesedihannya.
"Sempat aku berfikir malam itu akan menjadi malam terbaik sepanjang masa. Aku menantikanmu bersama hujan yang mengguyur tubuhku. Memegang cincin dan bunga yang sudah rusak terkena air hujan. Aku menunggumu terlalu lama. Dan anehnya aku marah karena rencanaku gagal. Tulisan I LOVE RENA hancur tersapu hujan. Tubuhku kedinginan diterpa angin liar. Aku marah padamu karena kamu tidak datang hari itu. Semenjak saat itu kamu tak pernah menemuiku, justru kakakmu memintaku untuk berhenti mencintaimu. Aku tak tau maksudmu saat itu. Aku terus mencarimu dan akhirnya kakakmu memberi sepucuk surat yang memang ditujukan untukku. Ku baca isinya, dan setiap detail kata-katamu yang menandakan kamu pelah pergi lebih dulu. Dan sejak saat itu hingga saat ini aku masih tetap mencintaimu. Aku tau tuhan mendengar setiap alunan kataku. Terima kasih Tuhan, walau aku hanya melihat senyum kecilnya di mimpi. Itu lebih dari cukup membuatku untuk bangkit lagi. Dan aku akan menjalani hidup baruku tanpa raga Rena tetapi bersama cintanya yang masih tersimpan. Aku akan belajar mencintai orang lain seperti yang Rena minta. Meskipun bagian tersulit dari diriku adalah kehilanganmu. Aku tak akan menyerah dengan keadaan. Aku berharap, kamu senang dengan apa yang telah aku lakukan untukmu. Dan aku berharap, kamu tak kan pernah lupa denganku, si cowok kece Gio Septiano." Kata Gio melihat-lihat foto kenangan kami.
Dia meletakkan kameranya yang masih menyala dengan foto aku dan dia. Dan aku sadar, saatnya aku merelakannya untuk yang lain. Salah satu caraku yang sama dengannya adalah mencintai dalam diam.

My SUPER



Saat matanya menatapku, aku begitu yakin aku mencintainya. Saat dia melangkah tepat di hadapanku, hatiku bergetar hebatnya. Aku tau aku anak baru yang mulai ngtren di SMA itu. Aku gengsi mengatakan aku mencintainya, tapi rasa cintai ini begitu besar untuknya. Dia sama sekali tak terlihat cool seperti cowok lainnya. Aku sangat sadar itu. Dia tak pernah menyapaku, sepertinya dia tak pernah ingin mengenalku. Memandangku, seperti memandang musuhnya sendiri. Alisnya mengkerut, namanya Cenzo. Aku tak tau sampai kapan rasa ini bertahan lama untuknya, tapi ku harap secepatnya aku akan berhenti mencintainya. Aku harap dia tidak lagi ada di dalam fikiranku. Aku melihatnya sedang memainkan gitarnya, menciptakan keajaiban dengan lagu barunya. Hatiku ikut bergetar mendengar alunannya, hingga aku tak pernah sadar aku menatapnya terlalu lama.
"Kenapa kamu menatap Cenzo lain dari biasanya? Kamu suka... Sama Cenzo?" Tanya Icha dengan nada meledek dan seketika berubah menjadi kekhawatir tersendiri.
"Kamu suka cowok seperti Cenzo? Ku harap jangan pernah. Olive sadar dong! Apa kata orang nanti jika ketua cewek tenar di sekolah mencintai Cenzo? Yang hanya cowok sederhana dan aneh itu." Vira melanjutkan ucapan Icha, dan Cenzo mendengarnya.
"Hellow? Mimpi kali ya, seorang Olive menyukai Cenzo. Enggak mungkin lah! Apa kata orang nanti. Yang ada Cenzo yang mengharapkan cintaku, ya tapi enggak level!"
Aku mengucapkannya, yang seharusnya tidak ku ucapkan di depan mata Cenzo. Cenzo pergi dan tampak marah dan kesal dengan perkataanku. Mungkin dia berfikir aku cewek paling ge-er. Terkadang aku ingin mengucapkan nama indahnya di depan teman-teman. Aku masih harus menunggu waktu yang akan menjawabnya. Tuhan, sampai kapan aku memendam dalam diam rasa ini. Aku seperti mengubur perasaanku sendiri. Maafkan aku terlalu munafik menanggapi cinta ini. Sejujurnya aku ingin mengatakannya, mengatakan perasaanku yang sebenarnya padanya. Terang-terangan, tanpa bersembunyi di balik gengsi yang menyakitkan ini. Aku ingin Cenzo tidak membenciku seperti ini. Aku memendam cintaku begitu lama. Sangat lama! Cenzo ku harap kamu mengerti. Aku selalu ingin menjadi bagian terpenting dalam dirimu.
Ku naiki tangga di sebrang kelas. Melihat dengan jelas cinta-cinta sederhana tanpa kemunafikan. Raut wajah mereka tampak jujur mengatakannya. Sayangnya, itu semua tak seperti rasa cintaku pada Cenzo. Mungkin aku yang salah dalam hal ini. Cenzo tak pernah tau semua perasaan baru ini. Dia tak pernah sadar ada aku yang menunggunya. Cenzo melintas di depan mataku, menuju ke perpustakaan. Entah mengapa aku ingin sekali mengikutinya. Ku turuni anak tangga dengan harapan baru. Mengikuti Cenzo diam-diam merupakan hobby tersendiri bagiku. Aku sering mengikutinya, mendengar berbagai petikan gitar dan suara manisnya. Aku berfikir, apakah seorang Olive anak ketua yayasan di sekolah tidak boleh jatuh cinta? Jatuh cinta kepada Cenzo yang hanya sederhana? Tidak semewah yang aku punya, tapi dia istimewa. Melebihi istimewa artis-artis yang ku kagumi. Aku mengikutinya, melihatnya dengan kedua mata dan hatiku. Dia tengah asik membaca suatu buku. Buku musik tepatnya. Dia pandai dalam hal apapun tentang musik. Aku terus melihatnya. Bersembunyi di balik rak buku, menjatuhkan semua buku di atasku. Aku mengambil buku itu sebelum Cenzo melihatku.
"Mau cari buku apa?" Tanya Cenzo dengan nada dingin.
"em...aaa...em... Buku??? Buku cara melukis dengan benar. Ya, maksudku aku ingin belajar melukis...em... Ya itulah..." Gugupku seperti sedang berbicara dengan guru paling galak sedunia.
"Ikut aku. Akan ku carikan buku itu untukmu." masih dengan nada dingin.
Aku mengikutinya, walaupun dia tak menengokku sama sekali. Terus mengikutinya dari belakang. Mencari buku itu di sela-sela rak buku yang bertumpukan rapi. Mencarinya satu persatu. Ini satu kesempatan untukku agar bisa memandang wajah manisnya terlalu lama. Ini seperti mimpi berada di dekatnya. Hatiku berdetak hebatnya, bibirku tak mampu berucap kata-kata. Yang aku ingin sekarang, aku akan terus memandang wajahnya. Cenzo menemukan buku yang ku cari. Aku berjanji aku akan menggambar wajah Cenzo dengan kedua tanganku suatu hari nanti. Entah kapan, yang jelas itu pasti!
"Te..."
"Sudah beres kan?" Tanyanya lalu pergi berlalu. Meninggalkan aku sendiri dalam sunyinya suasana.
Aku belum sempat berucap terima kasih padanya, dia main lari. Tapi, tak mengapa. Bisa didekatnya selama tadi saja sudah membuatku merasa nyaman. Aku seperti tidak memiliki keraguan mencintainya. Semakin hari rasa ini terus bertambah. Akan selalu bertambah esok hari, esok hari lagi, esok hari sampai rasa ini hilang sendiri. Guru mengumpulkan murid Fisika dan Biologi di lapangan, bertujuan mengadakan camping di akhir pekan. Aku berfikir sejenak, ini kesempatan untukku. Membuktikan cintaku kepada Cenzo. Sejak saat itu aku berlatih bermain gitar dan berlatih menciptakan lagu untuk Cenzo. Walaupun terkadang tangan-tanganku sakit karena pertama kali belajar menerjemahkan bahasa gitar. Musik tak pernah ku sukai, tapi Cenzo menyukainya. Aku belajar menyukai hal yang tak pernah aku sukai, karena Cenzo. Tak terasa bus sudah mulai berjejeran di parkiran sekolah. Icha dan Vira tampak mewah dengan barangnya. Yang sama sekali tak berguna untuk disana.
"Kamu serius? Sangat sederhana sekali Olive penampilanmu kali ini. Hellow, ini camping. Kita kan bisa foto-foto. Bisa upload di instagram. Bisa..."
"Itukan yang kamu tau? Kamu tak pernah merasakan hidup susah? Tujuan kita camping untuk apa, kamu tau gak? Agar kita mandiri, tau gimana rasanya jadi orang susah. Aku capek ngomong sama kalian."
Aku pergi meninggalkan mereka. Semakin lama aku semakin bosan dengan kehidupanku. Aku tak pernah merasa tertantang dengan dunia jika aku terus seperti ini. Kami semua mendirikan tenda, sangat sejuk jauh dari kota. Hening tanpa keramaian yang bising. Aku menyukai udara seperti ini. Icha dan Vira sibuk berpose foto layaknya bintang majalah. Aku membiarkannya. Kufikir memberi taunya sama sekali tidak berguna. Aku tersadar, ternyata Cenzo melihat kegigihanku dari jauh. Menjadi salah tingkah aku dibuatnya. Aku tak pernah menyangka dia memperlihatkan senyum kecilnya yang mempesona. Sebelumnya aku selalu berfikir Cenzo tak akan pernah memberikan bagian dari dirinya walaupun hanya senyuman kecil untukku. Tapi kenyataan tak berfikir sepertiku. Mungkin akan jauh lebih baik lagi jika aku menjadi temannya. Teman yang selalu mencintainya sejak lama. Yang selalu di dekatnya saat semua orang akan menjauhinya. Mungkinkah itu terjadi? Hanya Tuhan yang tau semua ini dan aku yakin Tuhanlah yang akan memberitahu rasa cinta ini padanya. Tanpa harus aku menjelaskannya. Dalam diam aku berdoa, menyelipkan nama Cenzo agar secepatnya mengerti. Aku yang tak mau sedikitpun luput dari pandangannya.
Pembina menyuruhku dan Cenzo mengambil air ke sungai pojok hutan sebrang. Aku bersyukur bisa dekat dengannya lagi. Berjalan berdampingan bersamanya, berdua. Hanya kita. Berterima kasih karena pembina tau isi hatiku. Hari mulai menggelap, kami beristirahat di atas batu besar. Melihat matahari bersembunyi di balik keramaian pepohonan. Cenzo tak sengaja memegang tanganku, aku gerogi dan aku terpeleset. Tercebur ke air yang seperti es itu. Tubuhku tak mampu menahan dingin. Aku ingin melepaskan genggaman tanganku dari batang pohon. Tapi apakah aku masih akan hidup lagi? Menjadi sosok yang mencintai tanpa gengsi. Menjadi yang lebih baik lagi. Jika itu bisa. Aku akan memilih pergi. Dan kembali menjadi sosok yang baru. Dengan cintaku yang masih tersimpan untuk Cenzo. Cenzo panik saat aku tak mampu lagi bertahan di air dingin, dia menceburkan diri untuk menolongku. Bagiku inilah hal paling so sweet yang pernah Cenzo lakukan untukku. Aku bisa melihat sorot matanya sangat peduli denganku. Seakan takut kehilangan aku.
"Maafkan aku, terlalu lama berdiri di atas sana sedangkan kamu kedinginan diterpa arus yang melawan tubuhmu." Katanya mengenakan jaketnya yang ia gantungkan dipohon besar itu untukku.
"Tidak mengapa, kamu menolongku pun aku sudah sangat bersyukur. Aku kira kamu akan meninggalkanku sendirian di sini. Membiarkanku terbawa arus sampai di ujung sungai. Bukankah sama saja menolongku dengan tidak menolongku. Bukan kah itu tidak membuatmu merasa lebih baik?"
"Sebenarnya dari kecil aku sangat takut dengan air deras seperti itu. Kakakku meninggalkan aku karena air itu. Saat itu aku menyesal tak menolongnya. Aku menyesal karena aku yang mengajaknya berenang bersamaku. Walaupun aku tau kakak tidak mahir berenang saat itu. Aku terus memaksanya dan akhirnya semuanya begitu cepat terjadi. Semenjak saat itu aku takut jika melihat air deras. Karena itu hanya mengingatkanku pada peristiwa yang menimpa kakak. Hal itu masih teringat jelas di otakku, padahal saat itu aku masih kecil. Itu sebabnya aku menolongmu. Aku takut kehilangan kamu. Emmm... Maksudnya aku tak ingin kejadian itu terulang lagi padaku."
"Maafkan aku membuatmu mengingat kenangan pahitmu."
Cenzo tidak menjawabnya, dia mengajakku untuk segera pulang karena dia yakin teman-teman lainnya pasti akan mencari kami. Aku masuk ke tenda dengan baju yang masih basah dan masih mengenakan jaket Cenzo. Bagiku aku merasa hangat, seperti dalam pelukan Cenzo. Aku tak ingin melepasnya kecuali dia yang meminta. Pagi hari buta aku melihat Cenzo tengah menikmati pekerjaan barunya mencari kayu bakar untuk api unggun malam nanti. Kami semua tau, Cenzo bagian dari penata acara. Aku melangkahkan kaki menghampirinya. Ku lihat lesung pipi terlihat jelas di wajahnya.
"Cenzo, aku ingin membantumu. Walaupun itu sekecil batu." Kataku pagi itu. Yang tengah berfikir apa jawabannya tentang pernyataanku. Aku sedikit malu mengatakannya, walaupun butuh keberanian khusus mengungkapkan kata sesingkat itu.
"Kenapa aku harus menolaknya? Satu hal yang ku tau, membantu tak ada yang ternilai sekecil batu bahkan malah sebesar batu yang kita temui di sungai kemarin." Tawanya lepas.
Kami menyusuri hutan lebih dalam lagi. Aku terjatuh dan kaki ku tergores. Darah segar keluar dari dalam tubuhku. Aku tak bisa berjalan dan Cenzo menggendongku. Aku tak menyangka dia akan seromantis ini padaku. Aku duduk lemas di bawah pohon besar, mungkin raut wajahku memperlihatkan begitu letihnya aku menahan rasa sakit.
"Terkadang, aku merasa tak berguna dalam hidupku. Aku merasa aku satu-satunya orang tak beruntung di dunia. Aku hanya bisa diam saat semua orang bergerak. Hanya bisa lemah saat semua orang masih merasa kuat. Hanya bisa membuang uang saat semua orang tengah mencarinya. Apa ini hal yang wajar Cenzo?"
"Ini justru lebih baik karena kamu mengakuinya. Enggak ada kata terlambat Olive. Berusahalah menjadi yang lebih baik. Dan yang lebih baik lagi. Kamu pasti bisa. Aku yakin itu. Sosokmu yang sebenarnya masih belum terlihat. Bukan berarti tidak pernah terlihat. Kamu bisa memperlihatkannya kepada semua orang. Kamu bisa membuktikan ucapanmu benar. Kamu bisa kuat dengan keadaan yang memaksamu untuk lemah. Kamu bisa apapun itu asalkan berusaha. Kita tak tau bagaimana Tuhan menjelaskan kekalahan kita, yang pasti Tuhan telah memberikan keputusan terbaiknya. Dalam hal apapun yang kamu jalani. Em...mungkin ini sudah terlalu siang kita disini. Sebaiknya kita pulang, istirahat, mempersiapkan segala sesuatu untuk nanti malam."
Dia mengatakan hal semanis itu yang membuatku tidak percaya. Aku tau semua orang benci perubahan, tapi aku tidak. Aku justru menikmatinya karena cintaku pada Cenzo. Cenzo, jika memang benar keputusan Tuhan yang terbaik, berarti tanggapanmu yang tidak pernah mencintaiku itu juga yang terbaik? Tuhan membiarkan aku memendam rasa ini. Berarti ini juga keputusan yang terbaik?
Aku tak percaya Cenzo menggandeng tanganku. Mengajakku pulang dengan tangannya yang masih melekat di telapakku. Cenzo pergi menyiapkan sesuatu entah apa. Aku terbaring di dalam tenda. Ternyata perubahanku jauh lebih membuatnya merasa nyaman. Cenzo tunggu aku malam nanti. Saat ku utarakan perasaaanku hanya padamu. Aku terus berlatih lagi, dengan semangat, giat, dan sungguh-sungguh. Angin malam menyapaku dengan hangat, walaupun sebenarnya itu terasa sangat dingin. Aku bersiap diri melakukannya.
" Olive apa kamu serius melakukannya? Kita lebih baik mundur menjadi temanmu daripada harus berteman dengan orang seperti Cenzo. Itu bukan hal yang baik Olive!" Tegas Vira membalikkan badan diikuti mengkerutnya alis Icha.
"Memang sebenarnya ini yang aku mau. Apakah mencintai Cenzo harus sesulit ini? Apakah aku lebih baik diam menanggapi cinta tersembunyi ini? Cenzo bisa melihat, mendengar, merasakan hal sama seperti kebanyakan orang? Apakah yang seperti itu tidak layak dicintai? Lalu, seperti apa yang kalian mau? Berpenampilan mewah? Bukankah cinta tidak seperti itu? Bukankah cinta apa adanya? Aku tau kalian tak pernah suka kehadiranku. Aku tau kalian membenciku sebagai teman. Aku tau kalian ingin memanfaatkanku. Jangan fikir aku tak pernah tau tentang hal itu."
Aku pergi, berdiri ditengah-tengah semua orang yang baru saja kumpul menyambut api unggun. Aku berusaha menenangkan diri, aku yakin ini akan berjalan lancar seperti yang aku harapkan.
"Mungkin aku memendam rasa ini begitu lama. Tapi aku tak ingin menyembunyikan rasa ini selamanya. Ada saatnya juga rasa ini sampai ke telinga cowok yang aku suka. Aku tak pernah tau apakah ini benar-benar cinta. Tapi sekarang aku yakin ini cinta. Aku memendamnya dalam diam. Menutupnya dengan gengsiku. Jika saja aku tak sadar akan hal itu, mungkin aku akan kehilangannya. Aku terlalu capek menyimpannya sendirian. Tak pernah ada satu orang pun tau tentang ini. Lagu ini, aku ciptakan untuk orang yang mampu membuatku jatuh cinta, membuatku bangkit dari keterpurukan, membuatku berubah menjadi lebih baik. Aku mencintaimu Cenzo!"
Aku mulai memetik dawai panjang itu. Ku nyanyikan dengan lantang lagu ciptaanku.
"Ku tak ingin bersembunyi. Dalam rasa cinta ini. Ku tak ingin menutupi. Rasa cinta dengan gengsi. Ku fikir mengenalnya indah. Ku fikir ini jatuh cinta. Aku memandangnya terlalu lama. Ku sadar aku menci...."
Cenzo berdiri tepat di depanku, mungkin hanya berjarak dua meter dari langkahku. Tiba-tiba seseorang merangkul Cenzo, sontak tangan ini berhenti bermain gitar. Aku tak menyangka cinta ini bertepuk sebelah tangan. Sangat sakit melihat Cenzo bersama cewek lain yang memberatkan hatiku. Dia tak pernah menganggapku bagian dari dirinya. Baginya mungkin aku seperti matahari merindukan bulan. Hatiku hancur lebur karnanya. Harapan yang semula ku susun rapi kandas seketika. Mataku tak bisa menahan tangis saat dia memintaku untuk mengatakan aku harus berhenti mencintai Cenzo. Aku berlari, meneteskan air mata yang tak kunjung berhenti. Kejadian malam ini sungguh sangat ku sesali. Cenzo mengajariku banyak hal kemudian dia pergi. Cenzo kenapa kamu menyakitiku? Aku yang lebih dulu mencintaimu! Bukan dia! Tapi aku! Aku selalu menantikan saat-saat indahku bersamamu. Kenapa kamu memilihnya. Kamu tak pernah tau rasa cintaku yang begitu besar untukmu. Kamu tak pernah tau betapa sakitnya menahan rasa ini untukmu. Tapi setelah aku membuka isi hatiku, kamu menyakitiku. Tuhan, kenapa kisah cintaku harus berakhir seperti ini? Apa ini semua salahku, memendam rasa cinta ini untuknya? Salahku menjadi pemeran dalam sandiwara yang membuatku harus kehilangannya.
Sinar matahari menusuk sela dedaunan yang menyejukkan hati. Kami semua membongkar tenda pukul 10 pagi. Acara perkemahan itu adalah acara pelepasan siswa anak kelas 12 yang baru saja selesai bergulat dengan soal-soal. Mungkin hatiku benar-benar harus merelakannya. Cenzo kelas 12 dan dia akan pergi mencari sekolah yang lebih tinggi. Aku harus mengubur perasaanku dalam-dalam lagi setelah menampakannya di hadapan semua siswa. Walaupun begitu aku tak merasa malu, hanya saja kecewa karena Cenzo meninggalkanku.
Hari-hari di SMA berubah seketika saat anak kelas 11 naik ke kelas 12. Semua tampak beda dari biasanya. Tak ada lagi seseorang yang mampu membuatku takjub melihat senyumannya. Tak ada lagi seseorang yang mampu membuatku lari sangat kencang saat melihatnya. Tak ada lagi seseorang yang membuatku diam mendengar suaranya. Tak akan pernah ada lagi. Hanya sisa-sisa harapan mati. Yang tak tau kapan ia akan pergi. Cenzo tak bisa menghargai perasaanku yang lebih padanya. Aku mengira kita mempunyai perasaan yang sama, saling cinta. Hal itu terus berlangsung lama, hingga akhirnya kelulusan tiba.
Weekend aku melukis di tengah ilalang belakang rumah. Entah mengapa tanganku ingin sekali menggoreskan canvas itu dengan wajah Cenzo. Aku mengikuti alur pensil itu. Wajah Cenzo mulai terlihat. Itu yang membuatku tidak bisa melupakannya. Aku teringat janjiku padanya, bahwa aku harus bisa menggambar wajahnya dengan sempurna.
"Itu gambar aku ya?" Tanya seseorang di belakangku. Mengenakan kemeja kotak-kotak, memakai kacamata yang membuatnya semakin tampan. Aku berdiri melihatnya. Apakah benar dia Cenzo. Apakah benar dia kembali untukku?
"Cenzo??? Untuk apa kamu kembali jika kamu membawa pedih lagi? Kamu tau gak aku benci disakiti. Sangat benci! Tapi kenapa kamu melakukan ini? Ini yang disebut mengerti perasaan? Aku capek disakiti. Aku capek menanti harapanku yang tak kunjung pasti." Marahku, dia memegang tanganku yang penuh dengan warna-warni cat.
"Maafkan aku membuatmu menunggu terlalu lama. Maafkan aku membuatmu kecewa. Maafkan aku jika ternyata juga aku mencintaimu dalam diam. Maafkan aku tak sempat mengatakannya. Maafkan aku tak mengenalkannya. Maafkan aku tak menjelaskannya. Maafkan aku atas semua perbuatanku yang menyakiti hatimu Olive. Jujur aku lebih dulu mencintaimu sebelum kamu mencintaiku. Kufikir kamu tak pernah bisa berubah dengan sikap manjamu. Tapi sekarang aku yakin kamu yang terbaik. Aku tau aku terlalu jahat untukmu. Aku tau mungkin kamu membenciku. Sekali lagi maafkan aku telah meninggalkanmu."
"Tapi kamu pergi. Dengan cewek itu, berpegangan tangan dengannya. Apa itu tidak terlalu sakit bagi cewek sepertiku? Aku tau aku gengsi mengatakan cintaku ke kamu. Aku lebih memilih menguburnya dalam diam. Tak ada yang tau aku mencintaimu. Tapi nyatanya, saat ku bilang rasa ini padamu, kamu tidak menanggapi hal itu dengan serius. Mungkin bagimu aku anak ingusan yang hanya bisa menyusahkanmu. Aku memang orang yang susah percaya dengan cinta. Karena aku tak pernah sekalipun mengenal cinta lebih dalam. Tapi saat bersamamu semua berbeda. Aku tau, aku tak pantas untukmu. Dan akan lebih baik lagi jika kamu melupakanku Cenzo."
"Enggak akan pernah, sekalipun kamu yang memintanya. Aku tau kalau aku hanya bisa menyakitimu. Tapi aku melakukan semua untukmu. Aku merasa bangga telah mengenalmu. Selama di SMA aku cuek sama kamu, karena aku takut kamu akan melihat cintaku. Aku takut kamu akan meledekku seperti saat itu. Saat di perpustakaan, sebenarnya aku sangat senang membantumu mencari buku melukis. Aku ingin terlihat tak peduli denganmu. Aku belajar apapun hal yang kamu sukai. Apapun itu walaupun kedengarannya sulit bagiku. Dan saat kita ditugaskan mengambil air di sungai oleh pembina. Itu bagian dari rencanaku agar aku lebih dekat denganmu. Dan yang paling aku kagumi adalah saat kamu membuka semua isi hatimu untukku. Membuka pintu hatimu yang sebelumnya kau tutup rapat-rapat untuk cowok seprtiku. Membuka terang-terangan walaupun aku tau kamu gengsi mengatakannya. Aku sangat sedih jika harus berpisah denganmu. Aku ingin merasakan satu tahun lagi SMA denganmu. Ingin sekali jika waktu bisa berputar ke belakang lagi. Maafkan aku dengan sandiwara cintaku."

Cenzo memelukku dengan sangat erat. Memberikanku lukisan wajahku sendiri dengan buatan tangannya. Aku tak percaya apa yang dia lakukan untukku saat ini. Ini mimpi yang sangat nyata. Harapanku yang sempat mati kini kembali. Menemuiku lagi. Dengan harapan yang lebih pasti. Seperti biasa Cenzo membawa gitarnya. Memetiknya dan bernyanyi dengan suara lirih tapi membekas di hati. Dia bernyanyi untukku. Hanya untukku. Cenzo kembali, cintaku hadir lagi. Bersyukur aku tidak sempat melupakanmu Cenzo. Bersyukur Tuhan mempertemukan aku denganmu lagi. Kali ini aku tak akan pernah mengecewakan Cenzo dengan sifat manjaku. Jika mencintainya adalah salah, aku tak ingin menjadi benar dalam hal itu. Tak akan pernah ingin! Dalam diam aku mencintainya. Dalam diam aku kehilangannya. Dalam diam aku memendam semuanya. Dan aku sadar, dalam kata aku akan melihatnya. Dalam kata aku masih menyimpan cintanya. Dalam kata dia akan kembali dengan sendirinya. Dalam kata cinta ini terucap yang sejujurnya. Mencintaimu adalah kesempurnaan yang tak bisa terucap dengan kata-kata, tak bisa terdengar jika hanya menggunakan telinga, dan tak bisa terlihat jika hanya menggunakan mata. Serta tak bisa terasa jika hanya menggunakan tangan yang memegangnya. Peran hatilah yang paling penting! Selalu! Setiap saat! 

Selasa, 05 Agustus 2014

Aku, Kamu, Tak Lagi Bersama



Rintik hujan menyapa Livy dan Petra yang tengah asik memandanginya. Mengingatkan semua kenangan yang begitu indahnya. Serentak jemari tangan Petra menarik raga Livy, air pun membasahi rambutnya. Mereka tampak tertawa lepas bersama, merasakan semua beban telah hilang dari jiwa mereka. Petra memandangi Livy yang sibuk bermain air hujan. Berteduh di bawah gubuk kecil yang sempit, Petra memegang tangannya yang dingin. Menggosok-gosokan tangannya kemudian mengusapkan telapak tangannya di kedua pipi Livy, agar Livy merasa hangat.
"Maaf membuatmu dingin..." Sesal Petra kepada Livy.
"Tidak masalah... Aku menyukai perlakuanmu tadi..."
Mereka menunggu hujan reda. Petra mengantarkan gadis itu pulang. Cewek berdarah Indo dengan rambut hitam kecokelatan, mata berwarna biru, bibir merah merona. Tinggi dan langsing, bernama Livy Virasmitha. Dia tumbuh sebagai gadis dewasa berpenampilan sederhana tapi tetap terlihat elegan. Sejak 3 tahun terakhir Livy dekat dengan seorang cowok humor, Petra Andrian. Mereka selalu bersama apapun yang terjadi dalam hidup mereka. Selalu berdampingan membuat mereka tumbuh dalam cinta. Cinta itu tampak, tapi mereka malu menampakkan sehingga cinta itu terasa tersembunyi. Kelulusan tiba, sekolah mereka merayakan kejadian terencana. Livy memasuki Universitas Widya Darma. Dan Petra memasuki Universitas Widya Purnama yang bersebelahan. Saat esok hari mahasiswa tengah sibuk menyiapkan perlengkapan ospek, Petra terlihat dengan santai memarkirkan mobilnya di depan rumah Livy.
"Petra kamu ngapain?" Tanya Livy mendekat ke kaca jendela mengkilap itu. Dengan penampilan sangat tampan, baju berkerah, membuat Livy tak mampu mengalihkan pandangannya.
"Emang enggak boleh seorang Petra mengantarkan sahabatnya sendiri ke kampus? Lagi pula kampus kita dekat, bersebelahan pula. Eits... Aku ga mau dengar komentar pagi ini. Naik atau terlambat?" Cowok cool itu tampak memerlihatkan senyum manisnya. Livy tampak senang dengan perlakuannya itu. Hening tanpa suara, terdengar hanya desahan mesin yang ingin segera berhenti. Livy berusaha menyembunyikan rasa senangnya pagi itu. Petra melirik wajah Livy yang tengah asik dengan senyumannya. Gadis itu memang cantik dan sangat cantik. Mobil masih melandas, menginjak rem dan akhirnya terhenti.
"Duh gawat nih... Gerbang hampir tertutup. 2 senior berjaga dipintu. Aku harus segera kesitu. Aku pergi...makasih atas tumpangannya!" Livy berlari, saat itu dia memang benar-benar terlambat. Tak menyangka inilah awal mimpi buruknya. Tangan Livy ditarik, dipaksa mendekat untuk mendapat hukuman. Ingin rasanya dia merengek kesakitan.
"Satu-satunya mahasiswi yang berani terlambat di hari pertama ospek! Livy Virasmitha! Enak kali ya lari lapangan sambil jongkok 15 kali? Aku minta sekarang juga kamu melakukan itu, kalo enggak..."
"Baik kak...maafkan aku membuatmu marah..." Livy benar-benar melakukannya. Dia benar-benar letih hingga peluh membasahi sebagian wajahnya. Tak sesekali lututnya tergores karena sering jatuh menahan beban tubuhnya. Terik matahari seperti membakar kulitnya. Menyengatnya dengan sinar panas. Pengelihatannya mulai pudar dan brukk... Matanya terbuka saat bau obat menusuk hidungnya.
"Udah sadar? Kenapa kamu mau melakukan hal konyol seperti tadi? Sama sekali tidak berguna untuk kami! Segala macam tindakan ospek yang melukai mahasiswa baru adalah kesalahan terbesar kami..." Kata senior cowok dengan muka cemas berlebih. Dia terlalu khawatir akan hal ini. Terlihat sangat sempurna matanya menatap Livy.
"Ma...maaf kak. Sudah sewajarnya ini terjadi padaku. Aku terlambat masuk di hari pertama ospek. Satu-satunya mahasiswi yang terlambat pagi ini. Aku mahasiswi yang teledor, tak pernah bisa tepat waktu dalam hal apapun..." Senior itu mengobati luka-luka kecil Livy. Dia beda dari senior lainnya. Yang hanya bisa marah-marah, menghukum, menyuruh, meminta mahasiswa baru untuk melakukan hal konyol yang sangat membosankan. Tapi dia sama sekali tak terlihat seperti itu. Dia baik dan sangat baik. Livy melihatnya terlalu lama, dengan senyum manis di wajahnya yang membuat senior ganteng itu ge-er.
"Emm...kenapa kamu? Yaudah sekarang kamu disini. Jangan kembali ke sana lagi. Karena itu hanya membawa bencana bagimu sendiri. Aku harus pergi, masih ada banyak urusan yang harus ku tangani untuk mahasiswa baru. Tunggu disini, sampai ospek selesai hari ini." Dia bergegas pergi. Lamun Livy terusik dengan bayangnya. bagai melayang terbang tinggi. Senior itu bagai pelita dalam gelapnya. Selalu, setiap saat. Livy tak tau apakah ini cinta. Dia berbicara sangat cepat, tapi Livy mampu memahaminya. Tak terasa ospek hari pertama pun selesai. Petra sudah menunggu di depan. Melihat-lihat dimana tubuh kecil itu menyelip. Entah mengapa Livy ingin pulang menaiki Bus Kota. Livy menyamar, menyelinap tersembunyi dan hasilnya Livy berhasil bebas dari Petra. Dia terus berjalan tanpa mempedulikan perasaan Petra. Segerombolan preman menggodanya, ingin merampas tas yang Livy punya. Dia ketakutan, memohon perlindungan Tuhan. Seketika seseorang datang. Menarik Livy agar berada di belakangnya. Cowo itu bergulat penuh dengan preman-preman itu. Tangannya tergores pisau tajam dan terluka. Livy panik, preman itu pergi ketakutan.
"Kakak senior??? Maafkan aku, lagi-lagi aku menyusahkanmu dan membuatmu terluka..."
"Kamu jangan fikirkan aku, sekarang kamu pergi sebelum mereka kembali. Cepat, aku bisa mengobatinya sendiri."
Livy pergi meninggalkannya. Dia merasa bersalah akan hal itu. Berlari seakan ingin tertabrak sesuatu. Sangat kencang. Dibenaknya, mengapa dia begitu bodoh meninggalkan senior itu yang tengah terluka. Livy memasuki kamarnya, merenungkan kejadian hari ini. Cowok itu bagai Guardian Angel yang selalu menjaganya. Begitu sempurna, dengan badannya yang tinggi melebihi Petra. Kulit putih yang tampak serasi dengan seragam kampusnya. Tak terasa bulan pun menampakan diri. Gadis itu memandang indah langit di balik jendela. Terus memikirkan senior yang menolongnya dua kali. Tiba-tiba handphonenya berdering, terpampang nama Petra menelponnya. Livy tidak mempedulikannya, mematikan handphonenya tanpa pikir panjang. Baginya, saat ini dia tak ingin diganggu. Malam semakin larut, hanya terdengar bunyi jarum jam wekernya. Livy tertidur. Selang beberapa jam matahari menembus kaca jendelanya. Sangat silau bagai tersorot lampu operasi. Gadis itu terbangun manja, tak menyadari dia bangun terlalu siang.
"Astaga...apa yang aku lakukan..."
Dia benar-benar terbangun kali ini. Menyalakan syower kamar mandi. Mungkin dia terlambat lagi. Yang tidak disadari, Petra menunggunya lagi. Livy menghampirinya, memarahinya karena hal itu
"Petra, kenapa kamu disini? Sekarang jam setengah 8. Aku bingung dengan cara apa lagi aku harus mengingatkanmu. Aku bukan segalanya untukmu."
"Bukankah sahabat seharusnya seperti itu. Bagiku sahabat segalanya Livy. Aku tak peduli aku akan terlambatlah, aku akan dihukumlah, aku akan dipermalukanlah. Yang penting kamu. Kamu terlambat, sudah pasti aku juga harus terlambat. Ayo naik, sebelum waktu terus berjalan lebih jauh lagi."
Livy menaiki mobilnya. Dia melakukan segalanya untuk Livy. Selama ini Livy tak pernah peduli dengan Petra melebihi rasa care Petra ke Livy. Bahkan saat seperti inipun Petra masih mampu menunggu Livy. Livy menuruni mobil Petra, mengucapkan terima kasih yang mendalam untuknya. Petra melajukan mobilnya, 2 senior menghampiri Livy.
"Cewek ini sepertinya tidak pernah bosan dengan hukuman kita! Livy Amanditha! ABD ingusan yang tak pernah datang tepat waktu. Seharusnya aku memberikan hukuman satu hari full untuknya. Sekarang ikut aku!"
Senior itu menarik tangan Livy. Livy merintih kesakitan. Mereka membawa Livy ke belakang sekolah untuk mengumpulkan daun-daun yang berserekan tanpa menyisakan sedikitpun. Dan mereka pergi tanpa rasa bersalah. Ini keterlaluan baginya, Livy tak sengaja terlambat. Apa orang yang tak sengaja juga berhak mendapat hukuman? Bagi Livy mereka jahat, tidak mempunyai rasa kemanusiaan. Senior ganteng itu melintas di depan Livy, melihat peluh Livy menetes sangat deras.
"Kamu kenapa lagi sih? Terlambat? Kena hukuman lagi? Sini..., terkena sinar matahari terlalu lama itu berbahaya tau ga?"
Senior itu menarik tangan Livy lagi, dia bagai pangeran berkuda kali ini. Livy merasa senior itu selalu peduli. Livy merasa seperti orang paling sempurna jika dekat dengan senior itu. Sampai-sampai Livy tak menyadari kedekatannya dengan senior itu membuatnya harus merasakan hukuman setiap hari. Seperti biasa, Petra menunggu Livy di depan kampus Widya Darma. Kali ini Livy ingin berada di dekat Petra. Dia menghampiri Petra, mengajaknya segera pulang. Mereka duduk di sudut ruang tamu.
"Petra? Kenapa tanganmu penuh dengan lebam? Kamu berantem?"
"Enggak...aku jatoh tadi waktu ospek. Biasa kayak enggak tau Petra aja." Jawabnya santai.
Sepertinya, yang dikatakan Petra kali ini tidak benar. Tapi Petra seperti tidak menganggap luka-luka itu beban. Dia terlihat santai dan sangat tenang. Livy khawatir dengannya. Ini tak seperti biasanya. Petra menyadari kecurigaan Livy.
"Em...aaa...aku harus pulang. Sekarang. Maaf aku tak bisa terlalu lama disini. Aku harus pergi."
Petra meninggalkan Livy dengan kecurigaan Livy. Livy bingung dengan perlakuan Petra. Dilain sisi Petra bergumam di dalam mobilnya
"Andai kamu tau yang sebenarnya Livy."
Duduk termenung di depan rumahnya. David menghampirinya, sahabat Petra sejak kecil.
"Petra, aku lagi suka sama cewek nih. Ya, aku enggak tau ini perasaan apa sebenarnya. Tapi ku fikir ini rasa cinta. Rasa yang mengusik remaja-remaja sekarang. Dia junior sih di kampusku. Tapi aku merasa senang jika di dekatnya." Katanya senyum-senyum gak jelas.
"Serius David? Sejak kapan? Cie... Jatuh cinta pertama kali. Tenang saja, aku akan membantumu dengan sepenuh jiwa ragaku."
"Jangan anggap ini main-main dong! Pokoknya, aku ingin kamu membantuku! Titik, enggak pakek space!"
Muka David terlihat serius menanggapi hal ini. Tapi Petra terus mengejeknya. Merayu-rayu dengan gombalan cinta. Petra bilang dia tak pernah jatuh cinta. Tapi apakah kekhawatiran, kepedulian, kesetiannya pada Livy tak membuktikannya? Petra tak pernah sadar akan hal ini. Yang dia tau ini satu macam bentuk persahabatan.
Pagi menyambut hari Livy. Kali ini dia terbangun pukul lima pagi. Dia tak tidur dari semalam karena takut akan terlambat lagi. Berangkat pagi-pagi buta ke kampus. Livy mengabari Petra bahwa dia telah ada di depan kampus. Livy juga meminta Petra untuk tidak khawatir dengannya. Selang beberapa menit 2 cewek galak itu datang lagi. Mengajak Livy melakukan hal yang semestinya tidak ia lakukan.
"Kak...buka dong. Saya takut disini!"
"Saya enggak peduli. Yang penting kamu tetap disini. Bye..."
Livy ketakutan. Wajahnya memucat. Dia sangat takut suasana gelap. Sangat berharap ada seseorang yang melintasi gudang kampus. Terdengar suara langkah kaki, Livy mencoba berteriak walaupun tak sanggup lagi berteriak. Nafasnya terputus-putus. Badannya terasa dingin.
"Tolong...saya takut..."
Saat matanya tak mampu untuk melihat apa yang terjadi. Cowok itu menggendongnya. Livy melihatnya dengan samar-samar. Tiba-tiba saja saat dia terbangun, dia di UKS sendirian. Livy berlari, gerbang hampir tertutup, dia kembali pulang.
Dilain sisi Petra sangat merindukan Livy. Dia terus membayangkan apa jadinya jika mereka menjalin hubungan lebih dari persahabatan. Terasa ada tangan lembut menyentuh pundak Petra.
"Livy?"
"Petra, aku suka cowok senior di kampus. Sepertinya dia juga menyukaiku. Dia cool tidak sepertimu yang hanya bisa bermain gitar. Dia bisa silat, bisa melindungiku."
"Berhenti membandingkan aku dengan cowok yang kamu cintai!"
Heningpun terjadi. Petra tercengang mendengarnya. Bagaimana mungkin ini terjadi. Terasa aneh kedengarannya. Petra berusaha bersikap tenang. Handphone Petra berdering.
"Livy aku pergi dulu ya? Mama sms katanya aku harus segera pulang."
Cowok itu melanjutkan langkahnya. Dia melihat sms David, tapi dia malas membukanya. Petra menyusuri setapak jalan dengan penyesalan. Entah apa yang ada di fikirannya saat ini. Mendengar Livy menyukai cowok itu adalah bencana bagainya.
Livy masih duduk di taman. Seorang cowok datang menghampirinya. Ternyata senior itu, Livy biasa menyebutnya SeGa "Senior Ganteng". Mereka berbincang seakan telah mengenal ribuan tahun lamanya. Saat tengah asik berbincang.
"Nanti makan malam denganku? Apa kamu bisa?"
"Sangat bisa...emmm...maksudku tentu saja."
Livy tersenyum senang. Sampai dirumah dia sibuk memilih baju-bajunya. Terlihat berlebihan menanggapi ajakan makan malam. Malam itu benar-benar malam istimewa. Mereka terlihat romantis berdua. Saat lagu drama diputar mereka berdansa. Petra datang menyaksikannya. Petra tak menyangka, dua sahabatnya saling cinta. Tapi mengapa?
"David dan Livy. Jadi junior yang dimaksud David, Livy? Dan senior yang dimaksud Livy, David? Aku mengajarinya bagaimana caranya menjaga cinta. Sedangkan aku mengalami cinta tak berbalas." Tangisnya dengan rasa pasrah.
Esok hari David menemui Petra. Mengucapkan terimakasih atas nasehat yang Petra berikan. Hari terus berganti. Livy tak pernah ada waktu lagi untuk Petra. Setiap kali mereka bertemu David selalu ada di sela-selanya. Hari-hari Petra menjadi sepi, tapi akhirnya dia mendapat teman baru, Alexa. Petra selalu bercerita apapun rasa cintanya kepada Livy. Tentang perasaannya, tentang kesakitannya, tentang pengorbanannya. Alexa adalah satu-satunya teman yang mampu menyimpan rahasia. Saat Petra dan Alexa tengah berpegangan tangan, berlatih bagaimana caranya mengutarakan perasaan pada Livy. Livy datang, dan menanggapi hal itu dengan salah paham. Sore itu David menemui Petra.
"Petra, aku tau kamu lebih dulu mengenal Livy. Tapi kenapa kamu seperti menghalangi kedekatanku dengan Livy? Kamu mencintainya?"
"Kenapa? Kamu jangan khawatir, aku tak akan mencintai sahabatku sendiri. Tak akan pernah. Aku akan menjauhinya."
David puas dengan perkataan Petra. Tak ada yang tau Livy mendengar perkataan mereka. Livy pun memutuskan untuk tidak lagi menemui Petra. Mereka yang dulunya selalu dekat sekarang menjadi jauh, bahkan tak pernah saling bertemu. Kejadian itu berlangsung terus menerus, hingga akhirnya Petra datang, memaksa Livy ke taman dekat rumah. Livy terus berusaha melepaskan genggaman tangan Petra. Dilihatnya David sudah menunggu kedatangan mereka.
"Pada mulanya aku berfikir aku tak pernah mencintaimu. Pada mulanya aku mencegah rasa cintaku. Tapi cinta itu bertambah besar padamu Livy. Sekarang kamu harus bisa pilih salah satu. Karena satu cinta tidak bisa dimiliki untuk dua hati. Lebih baik akan ada hati yang tersakiti daripada akan ada hati yang menahan pilu pedih. Aku minta pilihan itu tepat untukmu, karena sekali pilihan kamu tentukan. Kamu akan kehilangan salah satu dari mereka. Kamu pilih antara aku atau dia?" Kata Petra yang memperlihatkan keseriusannya.
"A...aku pada mulanya bimbang soal ini. Karena aku tak menyangka ini tujuan kalian mengajakku ke sini. Petra, kamu yang terbaik untukku. Tapi bukan untuk cintaku, sayangku ke kamu sebagai kakak. Aku tak tau apa aku benar dengan pilihanku. A...aku harap kita masih bisa..."
"Enggak! Ngga akan pernah! Itu pilihanmu, kamu harus siap kehilangan aku! Aku kecewa. Aku yang selalu ada untukmu. Saat kamu sedih, nangis, bimbang, kesal semua kamu tuangkan ke aku. Hingga kamu mengenalnya. Mengenal cintamu yang baru. Kamu melupakanku, kamu memilih menuangkan semua kebahagiaan hanya pada David. Aku sedih dengan perlakuanmu ke aku. Ini terlalu sakit untuk lukaku yang masih membekas. Tapi hanya satu cinta saja untukku, kamu memilih menyimpannya dan memberikannya untuk dia. Terima kasih! Cinta ini tak akan mati karena kebersamaanmu dengannya. Tak ada yang mampu menyaingi rasa cintaku untukmu. Tak akan pernah ada Livy. Sekali lagi, kamu harus siap kehilangan aku!" Katanya berlari kebelakang meninggalkan Livy. David mendekatinya, memeluknya, berjanji tak kan pernah meninggalkannya.
"Terima kasih telah memilihku Livy. Kamu membuatku merasa bangga dengan cintamu. Membuat duniaku menjadi abadi di detik ini. Aku berjanji akan menjadi apapun yang kamu minta. Aku mencintaimu sangat mencintaimu!"
Entah mengapa Livy tak lega dengan keputusan itu. Livy merasa Petra bukan kakaknya yang hilang 10 tahun yang lalu. Tapi percakapan Petra dan David membuktikannya. Livy merasa dilema dengan semua ini. Masalah tambah berkecambuk, bergulat dengan rasa amarah. Sebenarnya Livy lebih dulu mencintai Petra. Ini terlalu aneh. Livy sangat tau keputusan itu berat untuk Petra. Livy pulang ke rumah mengajak David. David pergi mengangkat telepon dan dompetnya tertinggal. Livy membukanya, melihat KTPnya dan Livy menemukan nama Aiko dan tanggal lahir persis dengan tanggal lahir kakaknya yang hilang. David mendekatinya, mengambil dompetnya di tangan Livy.
"Kenapa? Kamu kangen? Jadi kamu mau lihat fotoku setiap saat?"
"Apa maksud nama Aiko?"
"Itu nama kecilku. Dulu aku pergi dari rumah. Sekitar 10 tahun yang lalu. Aku rindu dengan keluarga dan adikku."
Livy berlari, David mengikutinya. Menarik tangan Livy.
"David minggir. Aku memilih cinta yang salah. Kenapa aku memilih kakakku sendiri yang hilang. Selama ini aku mencari kakakku, mencari seseorang yang selalu di dekatku sendiri."
David terus mengikutinya. Dia tak percaya seseorang yang ia cinta adalah adiknya sendiri. Mukanya yang semula merah merona menjadi hilang entah menjadi apa. Livy tau kenyataan ini berat untuk dua orang yang mengharapkan cintanya. Livy berharap Petra tak marah dengannya. Sampai di depan rumah Petra, Livy melirik semua orang menangis. Ramai hingga tersadar Petra tak ada disana.
"Tante...ada apa? Dimana Petra? Aku ingin bertemu dengannya...aku ingin..."
"Sore itu Petra kecelakaan. Kakinya cedera parah. Dia seperti kehilangan semangat untuk hidup lebih lama. Dia seperti sangat kecewa, kecewa entah karena apa. Tapi percayalah, dia selalu mencintaimu. Menyimpan rapat-rapat apapun tentang kamu. Walau terkadang dia harus merasakan sakit karena itu. Apapun yang dilakukan Petra untukmu adalah bukti rasa cinta yang besar untukmu. Maafkan semua kesalahan Petra, Livy. Biarkan dia tenang di tempat yang semestinya ditentukan. Temui dia, bilang apapun yang terjadi saat ini, sebelum rohnya benar-benar pergi dari sana..." Kata mamanya menahan isak tangisnya. Livy benar-benar menangis. Tak sempat menoleh ke arah David yang masih mengikutinya. Berlari sangat kencang menemui Petra. Livy yakin Petra masih menunggunya sebelum dia benar-benar pergi. Melihat bunga bertaburan di atas raga Petra membuatnya tak percaya Petra benar-benar telah pergi. Benar-benar telah meninggalkan Livy sendiri. Petra benar dalam ucapannya, sekali kita memilih. Pilihan itu harus benar-benar tepat, karena akan ada yang pergi.
"Petra, aku jauh lebih merasa bersalah dengan pilihanku. Sejujurnya aku lebih memilihmu. Semua bukti kamu kakakku menutup pintu hatiku untukmu. Aku tak mengerti aku begitu percaya dengan keadaan. Aku tak memikirkan keputusan lebih lama. Aku tak pernah ingin kehilangan sedikitpun tentang kamu walaupun itu hanya bayangmu. Aku ingin dirimu yang utuh, yang sebenarnya sedang duduk disampingku sekarang. Melakukan semua adegan konyolmu yang tak pernah aku sukai. Aku salah memlilih cinta. Aku salah mencintaimu secara diam. Aku salah membedakan cinta seorang adik kepada kakak dengan cinta seorang cewek untuk pacarnya. Aku terlalu bodoh untuk hal itu. Jujur aku sangat kecewa dengan diriku tapi kamu jauh lebih merasa kecewa."
David meninggalkannya kali ini. Livy duduk lemas di kursi taman. Seseorang menghampirinya.
"Aku Alexa. Aku ingin menjelaskan semua perasaan Petra ke kamu. Petra orang yang sangat baik menunggu cintamu kembali. Dia mencintaimu secara diam. Kamu ingat saat tubuh Petra dipenuhi lebam? Dia dipukuli senior karena terlambat masuk kampus saat menunggumu di hari kedua ospek. Saat kamu disekap digudang, Petra diam-diam mengikutimu karena dia mendengar perkataan cewek-cewek galak itu. Saat kamu bilang Petra tak bisa melindungimu, dia belajar silat sampai kakinya cedera. Saat kamu berdansa dengan David, dia melihatnya dan dia merasa kecewa. David dan kamu adalah sahabat terbaiknya. Saat itu Petra menganggap kamu telah menerima cinta David. Petra mengucapkan hal yang semestinya tidak dia ucapkan kepada David, "tidak pernah mencintai sahabatnya". Karena Petra ingin hubungan kalian baik-baik saja. Saat Petra tau kalian tak ada hubungan, Petra menemuimu. Menyuruhmu memilih dengan pilihan berat itu. Dan Petra sangat kecewa kamu memilih David. Dia berlari dan akhirnya...kecelakaan hebat. Petra tak pernah sadar bahwa cinta Petra ke kamu sia-sia. Kamu tak peduli perasaannya. Kamu tak peduli luka lamanya. Sekarang kamu sadar begitu berartinya kamu baginya, tapi kamu mengecewakannya. Menganggap remeh cintanya. Dia memang suka bercanda, tapi dibalik itu semua terselip keseriusan saat dia berbicara padamu."
Livy berlari, menuju jembatan, menangis menyesal. Petra tau, Livy kehilangan kakaknya walaupun Livy tak pernah mengatakan hal itu. Petra membantu Livy mencari kakaknya. Dan juga menyuruh David membantunya. Begitu bodohnya Livy tak menyadari hal itu.
"Kalau mau nangis, nangis aja. Teriaklah apapun yang ingin kamu teriakan disini. Maafkan aku adikku. Membuatmu kehilangan cinta sejatimu. Aku tak pernah menyangka rasa cintaku padamu adalah rasa cinta seorang kakak kepada adiknya. Jika kamu marah padaku..."
"Kakak mau pergi? Cukup Petra kak, cukup Petra! Jangan kakak! Jangan pernah! Kakak akan membuatku merasa sakit lagi. Selama ini aku jatuh cinta dalam diam kepada Petra. Aku begitu bodoh menyadari ini setelah kepergiannya. Aku ingin kakak tetap bersamaku disini! Aku salah, aku tak akan pernah mengulang kesalahanku lagi!"
Livy memeluk kakaknya. Dia begitu menyayangi kakaknya. Dia sadar, dia harus benar-benar merelakan kepergian Petra. Livy yakin sekarang Petra berada di samping Tuhan, dalam dekapanNya. Dan suatu saat, dia yakin takdir akan mempertemukan dia dengannya lagi. Walaupun di kehidupan selanjutnya.
"PETRA, AKU MENYADARI INI LAH RASA SAKITNYA KARENA MENCINTAIMU DALAM DIAM"