Selasa, 05 Agustus 2014

Aku, Kamu, Tak Lagi Bersama



Rintik hujan menyapa Livy dan Petra yang tengah asik memandanginya. Mengingatkan semua kenangan yang begitu indahnya. Serentak jemari tangan Petra menarik raga Livy, air pun membasahi rambutnya. Mereka tampak tertawa lepas bersama, merasakan semua beban telah hilang dari jiwa mereka. Petra memandangi Livy yang sibuk bermain air hujan. Berteduh di bawah gubuk kecil yang sempit, Petra memegang tangannya yang dingin. Menggosok-gosokan tangannya kemudian mengusapkan telapak tangannya di kedua pipi Livy, agar Livy merasa hangat.
"Maaf membuatmu dingin..." Sesal Petra kepada Livy.
"Tidak masalah... Aku menyukai perlakuanmu tadi..."
Mereka menunggu hujan reda. Petra mengantarkan gadis itu pulang. Cewek berdarah Indo dengan rambut hitam kecokelatan, mata berwarna biru, bibir merah merona. Tinggi dan langsing, bernama Livy Virasmitha. Dia tumbuh sebagai gadis dewasa berpenampilan sederhana tapi tetap terlihat elegan. Sejak 3 tahun terakhir Livy dekat dengan seorang cowok humor, Petra Andrian. Mereka selalu bersama apapun yang terjadi dalam hidup mereka. Selalu berdampingan membuat mereka tumbuh dalam cinta. Cinta itu tampak, tapi mereka malu menampakkan sehingga cinta itu terasa tersembunyi. Kelulusan tiba, sekolah mereka merayakan kejadian terencana. Livy memasuki Universitas Widya Darma. Dan Petra memasuki Universitas Widya Purnama yang bersebelahan. Saat esok hari mahasiswa tengah sibuk menyiapkan perlengkapan ospek, Petra terlihat dengan santai memarkirkan mobilnya di depan rumah Livy.
"Petra kamu ngapain?" Tanya Livy mendekat ke kaca jendela mengkilap itu. Dengan penampilan sangat tampan, baju berkerah, membuat Livy tak mampu mengalihkan pandangannya.
"Emang enggak boleh seorang Petra mengantarkan sahabatnya sendiri ke kampus? Lagi pula kampus kita dekat, bersebelahan pula. Eits... Aku ga mau dengar komentar pagi ini. Naik atau terlambat?" Cowok cool itu tampak memerlihatkan senyum manisnya. Livy tampak senang dengan perlakuannya itu. Hening tanpa suara, terdengar hanya desahan mesin yang ingin segera berhenti. Livy berusaha menyembunyikan rasa senangnya pagi itu. Petra melirik wajah Livy yang tengah asik dengan senyumannya. Gadis itu memang cantik dan sangat cantik. Mobil masih melandas, menginjak rem dan akhirnya terhenti.
"Duh gawat nih... Gerbang hampir tertutup. 2 senior berjaga dipintu. Aku harus segera kesitu. Aku pergi...makasih atas tumpangannya!" Livy berlari, saat itu dia memang benar-benar terlambat. Tak menyangka inilah awal mimpi buruknya. Tangan Livy ditarik, dipaksa mendekat untuk mendapat hukuman. Ingin rasanya dia merengek kesakitan.
"Satu-satunya mahasiswi yang berani terlambat di hari pertama ospek! Livy Virasmitha! Enak kali ya lari lapangan sambil jongkok 15 kali? Aku minta sekarang juga kamu melakukan itu, kalo enggak..."
"Baik kak...maafkan aku membuatmu marah..." Livy benar-benar melakukannya. Dia benar-benar letih hingga peluh membasahi sebagian wajahnya. Tak sesekali lututnya tergores karena sering jatuh menahan beban tubuhnya. Terik matahari seperti membakar kulitnya. Menyengatnya dengan sinar panas. Pengelihatannya mulai pudar dan brukk... Matanya terbuka saat bau obat menusuk hidungnya.
"Udah sadar? Kenapa kamu mau melakukan hal konyol seperti tadi? Sama sekali tidak berguna untuk kami! Segala macam tindakan ospek yang melukai mahasiswa baru adalah kesalahan terbesar kami..." Kata senior cowok dengan muka cemas berlebih. Dia terlalu khawatir akan hal ini. Terlihat sangat sempurna matanya menatap Livy.
"Ma...maaf kak. Sudah sewajarnya ini terjadi padaku. Aku terlambat masuk di hari pertama ospek. Satu-satunya mahasiswi yang terlambat pagi ini. Aku mahasiswi yang teledor, tak pernah bisa tepat waktu dalam hal apapun..." Senior itu mengobati luka-luka kecil Livy. Dia beda dari senior lainnya. Yang hanya bisa marah-marah, menghukum, menyuruh, meminta mahasiswa baru untuk melakukan hal konyol yang sangat membosankan. Tapi dia sama sekali tak terlihat seperti itu. Dia baik dan sangat baik. Livy melihatnya terlalu lama, dengan senyum manis di wajahnya yang membuat senior ganteng itu ge-er.
"Emm...kenapa kamu? Yaudah sekarang kamu disini. Jangan kembali ke sana lagi. Karena itu hanya membawa bencana bagimu sendiri. Aku harus pergi, masih ada banyak urusan yang harus ku tangani untuk mahasiswa baru. Tunggu disini, sampai ospek selesai hari ini." Dia bergegas pergi. Lamun Livy terusik dengan bayangnya. bagai melayang terbang tinggi. Senior itu bagai pelita dalam gelapnya. Selalu, setiap saat. Livy tak tau apakah ini cinta. Dia berbicara sangat cepat, tapi Livy mampu memahaminya. Tak terasa ospek hari pertama pun selesai. Petra sudah menunggu di depan. Melihat-lihat dimana tubuh kecil itu menyelip. Entah mengapa Livy ingin pulang menaiki Bus Kota. Livy menyamar, menyelinap tersembunyi dan hasilnya Livy berhasil bebas dari Petra. Dia terus berjalan tanpa mempedulikan perasaan Petra. Segerombolan preman menggodanya, ingin merampas tas yang Livy punya. Dia ketakutan, memohon perlindungan Tuhan. Seketika seseorang datang. Menarik Livy agar berada di belakangnya. Cowo itu bergulat penuh dengan preman-preman itu. Tangannya tergores pisau tajam dan terluka. Livy panik, preman itu pergi ketakutan.
"Kakak senior??? Maafkan aku, lagi-lagi aku menyusahkanmu dan membuatmu terluka..."
"Kamu jangan fikirkan aku, sekarang kamu pergi sebelum mereka kembali. Cepat, aku bisa mengobatinya sendiri."
Livy pergi meninggalkannya. Dia merasa bersalah akan hal itu. Berlari seakan ingin tertabrak sesuatu. Sangat kencang. Dibenaknya, mengapa dia begitu bodoh meninggalkan senior itu yang tengah terluka. Livy memasuki kamarnya, merenungkan kejadian hari ini. Cowok itu bagai Guardian Angel yang selalu menjaganya. Begitu sempurna, dengan badannya yang tinggi melebihi Petra. Kulit putih yang tampak serasi dengan seragam kampusnya. Tak terasa bulan pun menampakan diri. Gadis itu memandang indah langit di balik jendela. Terus memikirkan senior yang menolongnya dua kali. Tiba-tiba handphonenya berdering, terpampang nama Petra menelponnya. Livy tidak mempedulikannya, mematikan handphonenya tanpa pikir panjang. Baginya, saat ini dia tak ingin diganggu. Malam semakin larut, hanya terdengar bunyi jarum jam wekernya. Livy tertidur. Selang beberapa jam matahari menembus kaca jendelanya. Sangat silau bagai tersorot lampu operasi. Gadis itu terbangun manja, tak menyadari dia bangun terlalu siang.
"Astaga...apa yang aku lakukan..."
Dia benar-benar terbangun kali ini. Menyalakan syower kamar mandi. Mungkin dia terlambat lagi. Yang tidak disadari, Petra menunggunya lagi. Livy menghampirinya, memarahinya karena hal itu
"Petra, kenapa kamu disini? Sekarang jam setengah 8. Aku bingung dengan cara apa lagi aku harus mengingatkanmu. Aku bukan segalanya untukmu."
"Bukankah sahabat seharusnya seperti itu. Bagiku sahabat segalanya Livy. Aku tak peduli aku akan terlambatlah, aku akan dihukumlah, aku akan dipermalukanlah. Yang penting kamu. Kamu terlambat, sudah pasti aku juga harus terlambat. Ayo naik, sebelum waktu terus berjalan lebih jauh lagi."
Livy menaiki mobilnya. Dia melakukan segalanya untuk Livy. Selama ini Livy tak pernah peduli dengan Petra melebihi rasa care Petra ke Livy. Bahkan saat seperti inipun Petra masih mampu menunggu Livy. Livy menuruni mobil Petra, mengucapkan terima kasih yang mendalam untuknya. Petra melajukan mobilnya, 2 senior menghampiri Livy.
"Cewek ini sepertinya tidak pernah bosan dengan hukuman kita! Livy Amanditha! ABD ingusan yang tak pernah datang tepat waktu. Seharusnya aku memberikan hukuman satu hari full untuknya. Sekarang ikut aku!"
Senior itu menarik tangan Livy. Livy merintih kesakitan. Mereka membawa Livy ke belakang sekolah untuk mengumpulkan daun-daun yang berserekan tanpa menyisakan sedikitpun. Dan mereka pergi tanpa rasa bersalah. Ini keterlaluan baginya, Livy tak sengaja terlambat. Apa orang yang tak sengaja juga berhak mendapat hukuman? Bagi Livy mereka jahat, tidak mempunyai rasa kemanusiaan. Senior ganteng itu melintas di depan Livy, melihat peluh Livy menetes sangat deras.
"Kamu kenapa lagi sih? Terlambat? Kena hukuman lagi? Sini..., terkena sinar matahari terlalu lama itu berbahaya tau ga?"
Senior itu menarik tangan Livy lagi, dia bagai pangeran berkuda kali ini. Livy merasa senior itu selalu peduli. Livy merasa seperti orang paling sempurna jika dekat dengan senior itu. Sampai-sampai Livy tak menyadari kedekatannya dengan senior itu membuatnya harus merasakan hukuman setiap hari. Seperti biasa, Petra menunggu Livy di depan kampus Widya Darma. Kali ini Livy ingin berada di dekat Petra. Dia menghampiri Petra, mengajaknya segera pulang. Mereka duduk di sudut ruang tamu.
"Petra? Kenapa tanganmu penuh dengan lebam? Kamu berantem?"
"Enggak...aku jatoh tadi waktu ospek. Biasa kayak enggak tau Petra aja." Jawabnya santai.
Sepertinya, yang dikatakan Petra kali ini tidak benar. Tapi Petra seperti tidak menganggap luka-luka itu beban. Dia terlihat santai dan sangat tenang. Livy khawatir dengannya. Ini tak seperti biasanya. Petra menyadari kecurigaan Livy.
"Em...aaa...aku harus pulang. Sekarang. Maaf aku tak bisa terlalu lama disini. Aku harus pergi."
Petra meninggalkan Livy dengan kecurigaan Livy. Livy bingung dengan perlakuan Petra. Dilain sisi Petra bergumam di dalam mobilnya
"Andai kamu tau yang sebenarnya Livy."
Duduk termenung di depan rumahnya. David menghampirinya, sahabat Petra sejak kecil.
"Petra, aku lagi suka sama cewek nih. Ya, aku enggak tau ini perasaan apa sebenarnya. Tapi ku fikir ini rasa cinta. Rasa yang mengusik remaja-remaja sekarang. Dia junior sih di kampusku. Tapi aku merasa senang jika di dekatnya." Katanya senyum-senyum gak jelas.
"Serius David? Sejak kapan? Cie... Jatuh cinta pertama kali. Tenang saja, aku akan membantumu dengan sepenuh jiwa ragaku."
"Jangan anggap ini main-main dong! Pokoknya, aku ingin kamu membantuku! Titik, enggak pakek space!"
Muka David terlihat serius menanggapi hal ini. Tapi Petra terus mengejeknya. Merayu-rayu dengan gombalan cinta. Petra bilang dia tak pernah jatuh cinta. Tapi apakah kekhawatiran, kepedulian, kesetiannya pada Livy tak membuktikannya? Petra tak pernah sadar akan hal ini. Yang dia tau ini satu macam bentuk persahabatan.
Pagi menyambut hari Livy. Kali ini dia terbangun pukul lima pagi. Dia tak tidur dari semalam karena takut akan terlambat lagi. Berangkat pagi-pagi buta ke kampus. Livy mengabari Petra bahwa dia telah ada di depan kampus. Livy juga meminta Petra untuk tidak khawatir dengannya. Selang beberapa menit 2 cewek galak itu datang lagi. Mengajak Livy melakukan hal yang semestinya tidak ia lakukan.
"Kak...buka dong. Saya takut disini!"
"Saya enggak peduli. Yang penting kamu tetap disini. Bye..."
Livy ketakutan. Wajahnya memucat. Dia sangat takut suasana gelap. Sangat berharap ada seseorang yang melintasi gudang kampus. Terdengar suara langkah kaki, Livy mencoba berteriak walaupun tak sanggup lagi berteriak. Nafasnya terputus-putus. Badannya terasa dingin.
"Tolong...saya takut..."
Saat matanya tak mampu untuk melihat apa yang terjadi. Cowok itu menggendongnya. Livy melihatnya dengan samar-samar. Tiba-tiba saja saat dia terbangun, dia di UKS sendirian. Livy berlari, gerbang hampir tertutup, dia kembali pulang.
Dilain sisi Petra sangat merindukan Livy. Dia terus membayangkan apa jadinya jika mereka menjalin hubungan lebih dari persahabatan. Terasa ada tangan lembut menyentuh pundak Petra.
"Livy?"
"Petra, aku suka cowok senior di kampus. Sepertinya dia juga menyukaiku. Dia cool tidak sepertimu yang hanya bisa bermain gitar. Dia bisa silat, bisa melindungiku."
"Berhenti membandingkan aku dengan cowok yang kamu cintai!"
Heningpun terjadi. Petra tercengang mendengarnya. Bagaimana mungkin ini terjadi. Terasa aneh kedengarannya. Petra berusaha bersikap tenang. Handphone Petra berdering.
"Livy aku pergi dulu ya? Mama sms katanya aku harus segera pulang."
Cowok itu melanjutkan langkahnya. Dia melihat sms David, tapi dia malas membukanya. Petra menyusuri setapak jalan dengan penyesalan. Entah apa yang ada di fikirannya saat ini. Mendengar Livy menyukai cowok itu adalah bencana bagainya.
Livy masih duduk di taman. Seorang cowok datang menghampirinya. Ternyata senior itu, Livy biasa menyebutnya SeGa "Senior Ganteng". Mereka berbincang seakan telah mengenal ribuan tahun lamanya. Saat tengah asik berbincang.
"Nanti makan malam denganku? Apa kamu bisa?"
"Sangat bisa...emmm...maksudku tentu saja."
Livy tersenyum senang. Sampai dirumah dia sibuk memilih baju-bajunya. Terlihat berlebihan menanggapi ajakan makan malam. Malam itu benar-benar malam istimewa. Mereka terlihat romantis berdua. Saat lagu drama diputar mereka berdansa. Petra datang menyaksikannya. Petra tak menyangka, dua sahabatnya saling cinta. Tapi mengapa?
"David dan Livy. Jadi junior yang dimaksud David, Livy? Dan senior yang dimaksud Livy, David? Aku mengajarinya bagaimana caranya menjaga cinta. Sedangkan aku mengalami cinta tak berbalas." Tangisnya dengan rasa pasrah.
Esok hari David menemui Petra. Mengucapkan terimakasih atas nasehat yang Petra berikan. Hari terus berganti. Livy tak pernah ada waktu lagi untuk Petra. Setiap kali mereka bertemu David selalu ada di sela-selanya. Hari-hari Petra menjadi sepi, tapi akhirnya dia mendapat teman baru, Alexa. Petra selalu bercerita apapun rasa cintanya kepada Livy. Tentang perasaannya, tentang kesakitannya, tentang pengorbanannya. Alexa adalah satu-satunya teman yang mampu menyimpan rahasia. Saat Petra dan Alexa tengah berpegangan tangan, berlatih bagaimana caranya mengutarakan perasaan pada Livy. Livy datang, dan menanggapi hal itu dengan salah paham. Sore itu David menemui Petra.
"Petra, aku tau kamu lebih dulu mengenal Livy. Tapi kenapa kamu seperti menghalangi kedekatanku dengan Livy? Kamu mencintainya?"
"Kenapa? Kamu jangan khawatir, aku tak akan mencintai sahabatku sendiri. Tak akan pernah. Aku akan menjauhinya."
David puas dengan perkataan Petra. Tak ada yang tau Livy mendengar perkataan mereka. Livy pun memutuskan untuk tidak lagi menemui Petra. Mereka yang dulunya selalu dekat sekarang menjadi jauh, bahkan tak pernah saling bertemu. Kejadian itu berlangsung terus menerus, hingga akhirnya Petra datang, memaksa Livy ke taman dekat rumah. Livy terus berusaha melepaskan genggaman tangan Petra. Dilihatnya David sudah menunggu kedatangan mereka.
"Pada mulanya aku berfikir aku tak pernah mencintaimu. Pada mulanya aku mencegah rasa cintaku. Tapi cinta itu bertambah besar padamu Livy. Sekarang kamu harus bisa pilih salah satu. Karena satu cinta tidak bisa dimiliki untuk dua hati. Lebih baik akan ada hati yang tersakiti daripada akan ada hati yang menahan pilu pedih. Aku minta pilihan itu tepat untukmu, karena sekali pilihan kamu tentukan. Kamu akan kehilangan salah satu dari mereka. Kamu pilih antara aku atau dia?" Kata Petra yang memperlihatkan keseriusannya.
"A...aku pada mulanya bimbang soal ini. Karena aku tak menyangka ini tujuan kalian mengajakku ke sini. Petra, kamu yang terbaik untukku. Tapi bukan untuk cintaku, sayangku ke kamu sebagai kakak. Aku tak tau apa aku benar dengan pilihanku. A...aku harap kita masih bisa..."
"Enggak! Ngga akan pernah! Itu pilihanmu, kamu harus siap kehilangan aku! Aku kecewa. Aku yang selalu ada untukmu. Saat kamu sedih, nangis, bimbang, kesal semua kamu tuangkan ke aku. Hingga kamu mengenalnya. Mengenal cintamu yang baru. Kamu melupakanku, kamu memilih menuangkan semua kebahagiaan hanya pada David. Aku sedih dengan perlakuanmu ke aku. Ini terlalu sakit untuk lukaku yang masih membekas. Tapi hanya satu cinta saja untukku, kamu memilih menyimpannya dan memberikannya untuk dia. Terima kasih! Cinta ini tak akan mati karena kebersamaanmu dengannya. Tak ada yang mampu menyaingi rasa cintaku untukmu. Tak akan pernah ada Livy. Sekali lagi, kamu harus siap kehilangan aku!" Katanya berlari kebelakang meninggalkan Livy. David mendekatinya, memeluknya, berjanji tak kan pernah meninggalkannya.
"Terima kasih telah memilihku Livy. Kamu membuatku merasa bangga dengan cintamu. Membuat duniaku menjadi abadi di detik ini. Aku berjanji akan menjadi apapun yang kamu minta. Aku mencintaimu sangat mencintaimu!"
Entah mengapa Livy tak lega dengan keputusan itu. Livy merasa Petra bukan kakaknya yang hilang 10 tahun yang lalu. Tapi percakapan Petra dan David membuktikannya. Livy merasa dilema dengan semua ini. Masalah tambah berkecambuk, bergulat dengan rasa amarah. Sebenarnya Livy lebih dulu mencintai Petra. Ini terlalu aneh. Livy sangat tau keputusan itu berat untuk Petra. Livy pulang ke rumah mengajak David. David pergi mengangkat telepon dan dompetnya tertinggal. Livy membukanya, melihat KTPnya dan Livy menemukan nama Aiko dan tanggal lahir persis dengan tanggal lahir kakaknya yang hilang. David mendekatinya, mengambil dompetnya di tangan Livy.
"Kenapa? Kamu kangen? Jadi kamu mau lihat fotoku setiap saat?"
"Apa maksud nama Aiko?"
"Itu nama kecilku. Dulu aku pergi dari rumah. Sekitar 10 tahun yang lalu. Aku rindu dengan keluarga dan adikku."
Livy berlari, David mengikutinya. Menarik tangan Livy.
"David minggir. Aku memilih cinta yang salah. Kenapa aku memilih kakakku sendiri yang hilang. Selama ini aku mencari kakakku, mencari seseorang yang selalu di dekatku sendiri."
David terus mengikutinya. Dia tak percaya seseorang yang ia cinta adalah adiknya sendiri. Mukanya yang semula merah merona menjadi hilang entah menjadi apa. Livy tau kenyataan ini berat untuk dua orang yang mengharapkan cintanya. Livy berharap Petra tak marah dengannya. Sampai di depan rumah Petra, Livy melirik semua orang menangis. Ramai hingga tersadar Petra tak ada disana.
"Tante...ada apa? Dimana Petra? Aku ingin bertemu dengannya...aku ingin..."
"Sore itu Petra kecelakaan. Kakinya cedera parah. Dia seperti kehilangan semangat untuk hidup lebih lama. Dia seperti sangat kecewa, kecewa entah karena apa. Tapi percayalah, dia selalu mencintaimu. Menyimpan rapat-rapat apapun tentang kamu. Walau terkadang dia harus merasakan sakit karena itu. Apapun yang dilakukan Petra untukmu adalah bukti rasa cinta yang besar untukmu. Maafkan semua kesalahan Petra, Livy. Biarkan dia tenang di tempat yang semestinya ditentukan. Temui dia, bilang apapun yang terjadi saat ini, sebelum rohnya benar-benar pergi dari sana..." Kata mamanya menahan isak tangisnya. Livy benar-benar menangis. Tak sempat menoleh ke arah David yang masih mengikutinya. Berlari sangat kencang menemui Petra. Livy yakin Petra masih menunggunya sebelum dia benar-benar pergi. Melihat bunga bertaburan di atas raga Petra membuatnya tak percaya Petra benar-benar telah pergi. Benar-benar telah meninggalkan Livy sendiri. Petra benar dalam ucapannya, sekali kita memilih. Pilihan itu harus benar-benar tepat, karena akan ada yang pergi.
"Petra, aku jauh lebih merasa bersalah dengan pilihanku. Sejujurnya aku lebih memilihmu. Semua bukti kamu kakakku menutup pintu hatiku untukmu. Aku tak mengerti aku begitu percaya dengan keadaan. Aku tak memikirkan keputusan lebih lama. Aku tak pernah ingin kehilangan sedikitpun tentang kamu walaupun itu hanya bayangmu. Aku ingin dirimu yang utuh, yang sebenarnya sedang duduk disampingku sekarang. Melakukan semua adegan konyolmu yang tak pernah aku sukai. Aku salah memlilih cinta. Aku salah mencintaimu secara diam. Aku salah membedakan cinta seorang adik kepada kakak dengan cinta seorang cewek untuk pacarnya. Aku terlalu bodoh untuk hal itu. Jujur aku sangat kecewa dengan diriku tapi kamu jauh lebih merasa kecewa."
David meninggalkannya kali ini. Livy duduk lemas di kursi taman. Seseorang menghampirinya.
"Aku Alexa. Aku ingin menjelaskan semua perasaan Petra ke kamu. Petra orang yang sangat baik menunggu cintamu kembali. Dia mencintaimu secara diam. Kamu ingat saat tubuh Petra dipenuhi lebam? Dia dipukuli senior karena terlambat masuk kampus saat menunggumu di hari kedua ospek. Saat kamu disekap digudang, Petra diam-diam mengikutimu karena dia mendengar perkataan cewek-cewek galak itu. Saat kamu bilang Petra tak bisa melindungimu, dia belajar silat sampai kakinya cedera. Saat kamu berdansa dengan David, dia melihatnya dan dia merasa kecewa. David dan kamu adalah sahabat terbaiknya. Saat itu Petra menganggap kamu telah menerima cinta David. Petra mengucapkan hal yang semestinya tidak dia ucapkan kepada David, "tidak pernah mencintai sahabatnya". Karena Petra ingin hubungan kalian baik-baik saja. Saat Petra tau kalian tak ada hubungan, Petra menemuimu. Menyuruhmu memilih dengan pilihan berat itu. Dan Petra sangat kecewa kamu memilih David. Dia berlari dan akhirnya...kecelakaan hebat. Petra tak pernah sadar bahwa cinta Petra ke kamu sia-sia. Kamu tak peduli perasaannya. Kamu tak peduli luka lamanya. Sekarang kamu sadar begitu berartinya kamu baginya, tapi kamu mengecewakannya. Menganggap remeh cintanya. Dia memang suka bercanda, tapi dibalik itu semua terselip keseriusan saat dia berbicara padamu."
Livy berlari, menuju jembatan, menangis menyesal. Petra tau, Livy kehilangan kakaknya walaupun Livy tak pernah mengatakan hal itu. Petra membantu Livy mencari kakaknya. Dan juga menyuruh David membantunya. Begitu bodohnya Livy tak menyadari hal itu.
"Kalau mau nangis, nangis aja. Teriaklah apapun yang ingin kamu teriakan disini. Maafkan aku adikku. Membuatmu kehilangan cinta sejatimu. Aku tak pernah menyangka rasa cintaku padamu adalah rasa cinta seorang kakak kepada adiknya. Jika kamu marah padaku..."
"Kakak mau pergi? Cukup Petra kak, cukup Petra! Jangan kakak! Jangan pernah! Kakak akan membuatku merasa sakit lagi. Selama ini aku jatuh cinta dalam diam kepada Petra. Aku begitu bodoh menyadari ini setelah kepergiannya. Aku ingin kakak tetap bersamaku disini! Aku salah, aku tak akan pernah mengulang kesalahanku lagi!"
Livy memeluk kakaknya. Dia begitu menyayangi kakaknya. Dia sadar, dia harus benar-benar merelakan kepergian Petra. Livy yakin sekarang Petra berada di samping Tuhan, dalam dekapanNya. Dan suatu saat, dia yakin takdir akan mempertemukan dia dengannya lagi. Walaupun di kehidupan selanjutnya.
"PETRA, AKU MENYADARI INI LAH RASA SAKITNYA KARENA MENCINTAIMU DALAM DIAM"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar