Rabu, 06 Agustus 2014

My SUPER



Saat matanya menatapku, aku begitu yakin aku mencintainya. Saat dia melangkah tepat di hadapanku, hatiku bergetar hebatnya. Aku tau aku anak baru yang mulai ngtren di SMA itu. Aku gengsi mengatakan aku mencintainya, tapi rasa cintai ini begitu besar untuknya. Dia sama sekali tak terlihat cool seperti cowok lainnya. Aku sangat sadar itu. Dia tak pernah menyapaku, sepertinya dia tak pernah ingin mengenalku. Memandangku, seperti memandang musuhnya sendiri. Alisnya mengkerut, namanya Cenzo. Aku tak tau sampai kapan rasa ini bertahan lama untuknya, tapi ku harap secepatnya aku akan berhenti mencintainya. Aku harap dia tidak lagi ada di dalam fikiranku. Aku melihatnya sedang memainkan gitarnya, menciptakan keajaiban dengan lagu barunya. Hatiku ikut bergetar mendengar alunannya, hingga aku tak pernah sadar aku menatapnya terlalu lama.
"Kenapa kamu menatap Cenzo lain dari biasanya? Kamu suka... Sama Cenzo?" Tanya Icha dengan nada meledek dan seketika berubah menjadi kekhawatir tersendiri.
"Kamu suka cowok seperti Cenzo? Ku harap jangan pernah. Olive sadar dong! Apa kata orang nanti jika ketua cewek tenar di sekolah mencintai Cenzo? Yang hanya cowok sederhana dan aneh itu." Vira melanjutkan ucapan Icha, dan Cenzo mendengarnya.
"Hellow? Mimpi kali ya, seorang Olive menyukai Cenzo. Enggak mungkin lah! Apa kata orang nanti. Yang ada Cenzo yang mengharapkan cintaku, ya tapi enggak level!"
Aku mengucapkannya, yang seharusnya tidak ku ucapkan di depan mata Cenzo. Cenzo pergi dan tampak marah dan kesal dengan perkataanku. Mungkin dia berfikir aku cewek paling ge-er. Terkadang aku ingin mengucapkan nama indahnya di depan teman-teman. Aku masih harus menunggu waktu yang akan menjawabnya. Tuhan, sampai kapan aku memendam dalam diam rasa ini. Aku seperti mengubur perasaanku sendiri. Maafkan aku terlalu munafik menanggapi cinta ini. Sejujurnya aku ingin mengatakannya, mengatakan perasaanku yang sebenarnya padanya. Terang-terangan, tanpa bersembunyi di balik gengsi yang menyakitkan ini. Aku ingin Cenzo tidak membenciku seperti ini. Aku memendam cintaku begitu lama. Sangat lama! Cenzo ku harap kamu mengerti. Aku selalu ingin menjadi bagian terpenting dalam dirimu.
Ku naiki tangga di sebrang kelas. Melihat dengan jelas cinta-cinta sederhana tanpa kemunafikan. Raut wajah mereka tampak jujur mengatakannya. Sayangnya, itu semua tak seperti rasa cintaku pada Cenzo. Mungkin aku yang salah dalam hal ini. Cenzo tak pernah tau semua perasaan baru ini. Dia tak pernah sadar ada aku yang menunggunya. Cenzo melintas di depan mataku, menuju ke perpustakaan. Entah mengapa aku ingin sekali mengikutinya. Ku turuni anak tangga dengan harapan baru. Mengikuti Cenzo diam-diam merupakan hobby tersendiri bagiku. Aku sering mengikutinya, mendengar berbagai petikan gitar dan suara manisnya. Aku berfikir, apakah seorang Olive anak ketua yayasan di sekolah tidak boleh jatuh cinta? Jatuh cinta kepada Cenzo yang hanya sederhana? Tidak semewah yang aku punya, tapi dia istimewa. Melebihi istimewa artis-artis yang ku kagumi. Aku mengikutinya, melihatnya dengan kedua mata dan hatiku. Dia tengah asik membaca suatu buku. Buku musik tepatnya. Dia pandai dalam hal apapun tentang musik. Aku terus melihatnya. Bersembunyi di balik rak buku, menjatuhkan semua buku di atasku. Aku mengambil buku itu sebelum Cenzo melihatku.
"Mau cari buku apa?" Tanya Cenzo dengan nada dingin.
"em...aaa...em... Buku??? Buku cara melukis dengan benar. Ya, maksudku aku ingin belajar melukis...em... Ya itulah..." Gugupku seperti sedang berbicara dengan guru paling galak sedunia.
"Ikut aku. Akan ku carikan buku itu untukmu." masih dengan nada dingin.
Aku mengikutinya, walaupun dia tak menengokku sama sekali. Terus mengikutinya dari belakang. Mencari buku itu di sela-sela rak buku yang bertumpukan rapi. Mencarinya satu persatu. Ini satu kesempatan untukku agar bisa memandang wajah manisnya terlalu lama. Ini seperti mimpi berada di dekatnya. Hatiku berdetak hebatnya, bibirku tak mampu berucap kata-kata. Yang aku ingin sekarang, aku akan terus memandang wajahnya. Cenzo menemukan buku yang ku cari. Aku berjanji aku akan menggambar wajah Cenzo dengan kedua tanganku suatu hari nanti. Entah kapan, yang jelas itu pasti!
"Te..."
"Sudah beres kan?" Tanyanya lalu pergi berlalu. Meninggalkan aku sendiri dalam sunyinya suasana.
Aku belum sempat berucap terima kasih padanya, dia main lari. Tapi, tak mengapa. Bisa didekatnya selama tadi saja sudah membuatku merasa nyaman. Aku seperti tidak memiliki keraguan mencintainya. Semakin hari rasa ini terus bertambah. Akan selalu bertambah esok hari, esok hari lagi, esok hari sampai rasa ini hilang sendiri. Guru mengumpulkan murid Fisika dan Biologi di lapangan, bertujuan mengadakan camping di akhir pekan. Aku berfikir sejenak, ini kesempatan untukku. Membuktikan cintaku kepada Cenzo. Sejak saat itu aku berlatih bermain gitar dan berlatih menciptakan lagu untuk Cenzo. Walaupun terkadang tangan-tanganku sakit karena pertama kali belajar menerjemahkan bahasa gitar. Musik tak pernah ku sukai, tapi Cenzo menyukainya. Aku belajar menyukai hal yang tak pernah aku sukai, karena Cenzo. Tak terasa bus sudah mulai berjejeran di parkiran sekolah. Icha dan Vira tampak mewah dengan barangnya. Yang sama sekali tak berguna untuk disana.
"Kamu serius? Sangat sederhana sekali Olive penampilanmu kali ini. Hellow, ini camping. Kita kan bisa foto-foto. Bisa upload di instagram. Bisa..."
"Itukan yang kamu tau? Kamu tak pernah merasakan hidup susah? Tujuan kita camping untuk apa, kamu tau gak? Agar kita mandiri, tau gimana rasanya jadi orang susah. Aku capek ngomong sama kalian."
Aku pergi meninggalkan mereka. Semakin lama aku semakin bosan dengan kehidupanku. Aku tak pernah merasa tertantang dengan dunia jika aku terus seperti ini. Kami semua mendirikan tenda, sangat sejuk jauh dari kota. Hening tanpa keramaian yang bising. Aku menyukai udara seperti ini. Icha dan Vira sibuk berpose foto layaknya bintang majalah. Aku membiarkannya. Kufikir memberi taunya sama sekali tidak berguna. Aku tersadar, ternyata Cenzo melihat kegigihanku dari jauh. Menjadi salah tingkah aku dibuatnya. Aku tak pernah menyangka dia memperlihatkan senyum kecilnya yang mempesona. Sebelumnya aku selalu berfikir Cenzo tak akan pernah memberikan bagian dari dirinya walaupun hanya senyuman kecil untukku. Tapi kenyataan tak berfikir sepertiku. Mungkin akan jauh lebih baik lagi jika aku menjadi temannya. Teman yang selalu mencintainya sejak lama. Yang selalu di dekatnya saat semua orang akan menjauhinya. Mungkinkah itu terjadi? Hanya Tuhan yang tau semua ini dan aku yakin Tuhanlah yang akan memberitahu rasa cinta ini padanya. Tanpa harus aku menjelaskannya. Dalam diam aku berdoa, menyelipkan nama Cenzo agar secepatnya mengerti. Aku yang tak mau sedikitpun luput dari pandangannya.
Pembina menyuruhku dan Cenzo mengambil air ke sungai pojok hutan sebrang. Aku bersyukur bisa dekat dengannya lagi. Berjalan berdampingan bersamanya, berdua. Hanya kita. Berterima kasih karena pembina tau isi hatiku. Hari mulai menggelap, kami beristirahat di atas batu besar. Melihat matahari bersembunyi di balik keramaian pepohonan. Cenzo tak sengaja memegang tanganku, aku gerogi dan aku terpeleset. Tercebur ke air yang seperti es itu. Tubuhku tak mampu menahan dingin. Aku ingin melepaskan genggaman tanganku dari batang pohon. Tapi apakah aku masih akan hidup lagi? Menjadi sosok yang mencintai tanpa gengsi. Menjadi yang lebih baik lagi. Jika itu bisa. Aku akan memilih pergi. Dan kembali menjadi sosok yang baru. Dengan cintaku yang masih tersimpan untuk Cenzo. Cenzo panik saat aku tak mampu lagi bertahan di air dingin, dia menceburkan diri untuk menolongku. Bagiku inilah hal paling so sweet yang pernah Cenzo lakukan untukku. Aku bisa melihat sorot matanya sangat peduli denganku. Seakan takut kehilangan aku.
"Maafkan aku, terlalu lama berdiri di atas sana sedangkan kamu kedinginan diterpa arus yang melawan tubuhmu." Katanya mengenakan jaketnya yang ia gantungkan dipohon besar itu untukku.
"Tidak mengapa, kamu menolongku pun aku sudah sangat bersyukur. Aku kira kamu akan meninggalkanku sendirian di sini. Membiarkanku terbawa arus sampai di ujung sungai. Bukankah sama saja menolongku dengan tidak menolongku. Bukan kah itu tidak membuatmu merasa lebih baik?"
"Sebenarnya dari kecil aku sangat takut dengan air deras seperti itu. Kakakku meninggalkan aku karena air itu. Saat itu aku menyesal tak menolongnya. Aku menyesal karena aku yang mengajaknya berenang bersamaku. Walaupun aku tau kakak tidak mahir berenang saat itu. Aku terus memaksanya dan akhirnya semuanya begitu cepat terjadi. Semenjak saat itu aku takut jika melihat air deras. Karena itu hanya mengingatkanku pada peristiwa yang menimpa kakak. Hal itu masih teringat jelas di otakku, padahal saat itu aku masih kecil. Itu sebabnya aku menolongmu. Aku takut kehilangan kamu. Emmm... Maksudnya aku tak ingin kejadian itu terulang lagi padaku."
"Maafkan aku membuatmu mengingat kenangan pahitmu."
Cenzo tidak menjawabnya, dia mengajakku untuk segera pulang karena dia yakin teman-teman lainnya pasti akan mencari kami. Aku masuk ke tenda dengan baju yang masih basah dan masih mengenakan jaket Cenzo. Bagiku aku merasa hangat, seperti dalam pelukan Cenzo. Aku tak ingin melepasnya kecuali dia yang meminta. Pagi hari buta aku melihat Cenzo tengah menikmati pekerjaan barunya mencari kayu bakar untuk api unggun malam nanti. Kami semua tau, Cenzo bagian dari penata acara. Aku melangkahkan kaki menghampirinya. Ku lihat lesung pipi terlihat jelas di wajahnya.
"Cenzo, aku ingin membantumu. Walaupun itu sekecil batu." Kataku pagi itu. Yang tengah berfikir apa jawabannya tentang pernyataanku. Aku sedikit malu mengatakannya, walaupun butuh keberanian khusus mengungkapkan kata sesingkat itu.
"Kenapa aku harus menolaknya? Satu hal yang ku tau, membantu tak ada yang ternilai sekecil batu bahkan malah sebesar batu yang kita temui di sungai kemarin." Tawanya lepas.
Kami menyusuri hutan lebih dalam lagi. Aku terjatuh dan kaki ku tergores. Darah segar keluar dari dalam tubuhku. Aku tak bisa berjalan dan Cenzo menggendongku. Aku tak menyangka dia akan seromantis ini padaku. Aku duduk lemas di bawah pohon besar, mungkin raut wajahku memperlihatkan begitu letihnya aku menahan rasa sakit.
"Terkadang, aku merasa tak berguna dalam hidupku. Aku merasa aku satu-satunya orang tak beruntung di dunia. Aku hanya bisa diam saat semua orang bergerak. Hanya bisa lemah saat semua orang masih merasa kuat. Hanya bisa membuang uang saat semua orang tengah mencarinya. Apa ini hal yang wajar Cenzo?"
"Ini justru lebih baik karena kamu mengakuinya. Enggak ada kata terlambat Olive. Berusahalah menjadi yang lebih baik. Dan yang lebih baik lagi. Kamu pasti bisa. Aku yakin itu. Sosokmu yang sebenarnya masih belum terlihat. Bukan berarti tidak pernah terlihat. Kamu bisa memperlihatkannya kepada semua orang. Kamu bisa membuktikan ucapanmu benar. Kamu bisa kuat dengan keadaan yang memaksamu untuk lemah. Kamu bisa apapun itu asalkan berusaha. Kita tak tau bagaimana Tuhan menjelaskan kekalahan kita, yang pasti Tuhan telah memberikan keputusan terbaiknya. Dalam hal apapun yang kamu jalani. Em...mungkin ini sudah terlalu siang kita disini. Sebaiknya kita pulang, istirahat, mempersiapkan segala sesuatu untuk nanti malam."
Dia mengatakan hal semanis itu yang membuatku tidak percaya. Aku tau semua orang benci perubahan, tapi aku tidak. Aku justru menikmatinya karena cintaku pada Cenzo. Cenzo, jika memang benar keputusan Tuhan yang terbaik, berarti tanggapanmu yang tidak pernah mencintaiku itu juga yang terbaik? Tuhan membiarkan aku memendam rasa ini. Berarti ini juga keputusan yang terbaik?
Aku tak percaya Cenzo menggandeng tanganku. Mengajakku pulang dengan tangannya yang masih melekat di telapakku. Cenzo pergi menyiapkan sesuatu entah apa. Aku terbaring di dalam tenda. Ternyata perubahanku jauh lebih membuatnya merasa nyaman. Cenzo tunggu aku malam nanti. Saat ku utarakan perasaaanku hanya padamu. Aku terus berlatih lagi, dengan semangat, giat, dan sungguh-sungguh. Angin malam menyapaku dengan hangat, walaupun sebenarnya itu terasa sangat dingin. Aku bersiap diri melakukannya.
" Olive apa kamu serius melakukannya? Kita lebih baik mundur menjadi temanmu daripada harus berteman dengan orang seperti Cenzo. Itu bukan hal yang baik Olive!" Tegas Vira membalikkan badan diikuti mengkerutnya alis Icha.
"Memang sebenarnya ini yang aku mau. Apakah mencintai Cenzo harus sesulit ini? Apakah aku lebih baik diam menanggapi cinta tersembunyi ini? Cenzo bisa melihat, mendengar, merasakan hal sama seperti kebanyakan orang? Apakah yang seperti itu tidak layak dicintai? Lalu, seperti apa yang kalian mau? Berpenampilan mewah? Bukankah cinta tidak seperti itu? Bukankah cinta apa adanya? Aku tau kalian tak pernah suka kehadiranku. Aku tau kalian membenciku sebagai teman. Aku tau kalian ingin memanfaatkanku. Jangan fikir aku tak pernah tau tentang hal itu."
Aku pergi, berdiri ditengah-tengah semua orang yang baru saja kumpul menyambut api unggun. Aku berusaha menenangkan diri, aku yakin ini akan berjalan lancar seperti yang aku harapkan.
"Mungkin aku memendam rasa ini begitu lama. Tapi aku tak ingin menyembunyikan rasa ini selamanya. Ada saatnya juga rasa ini sampai ke telinga cowok yang aku suka. Aku tak pernah tau apakah ini benar-benar cinta. Tapi sekarang aku yakin ini cinta. Aku memendamnya dalam diam. Menutupnya dengan gengsiku. Jika saja aku tak sadar akan hal itu, mungkin aku akan kehilangannya. Aku terlalu capek menyimpannya sendirian. Tak pernah ada satu orang pun tau tentang ini. Lagu ini, aku ciptakan untuk orang yang mampu membuatku jatuh cinta, membuatku bangkit dari keterpurukan, membuatku berubah menjadi lebih baik. Aku mencintaimu Cenzo!"
Aku mulai memetik dawai panjang itu. Ku nyanyikan dengan lantang lagu ciptaanku.
"Ku tak ingin bersembunyi. Dalam rasa cinta ini. Ku tak ingin menutupi. Rasa cinta dengan gengsi. Ku fikir mengenalnya indah. Ku fikir ini jatuh cinta. Aku memandangnya terlalu lama. Ku sadar aku menci...."
Cenzo berdiri tepat di depanku, mungkin hanya berjarak dua meter dari langkahku. Tiba-tiba seseorang merangkul Cenzo, sontak tangan ini berhenti bermain gitar. Aku tak menyangka cinta ini bertepuk sebelah tangan. Sangat sakit melihat Cenzo bersama cewek lain yang memberatkan hatiku. Dia tak pernah menganggapku bagian dari dirinya. Baginya mungkin aku seperti matahari merindukan bulan. Hatiku hancur lebur karnanya. Harapan yang semula ku susun rapi kandas seketika. Mataku tak bisa menahan tangis saat dia memintaku untuk mengatakan aku harus berhenti mencintai Cenzo. Aku berlari, meneteskan air mata yang tak kunjung berhenti. Kejadian malam ini sungguh sangat ku sesali. Cenzo mengajariku banyak hal kemudian dia pergi. Cenzo kenapa kamu menyakitiku? Aku yang lebih dulu mencintaimu! Bukan dia! Tapi aku! Aku selalu menantikan saat-saat indahku bersamamu. Kenapa kamu memilihnya. Kamu tak pernah tau rasa cintaku yang begitu besar untukmu. Kamu tak pernah tau betapa sakitnya menahan rasa ini untukmu. Tapi setelah aku membuka isi hatiku, kamu menyakitiku. Tuhan, kenapa kisah cintaku harus berakhir seperti ini? Apa ini semua salahku, memendam rasa cinta ini untuknya? Salahku menjadi pemeran dalam sandiwara yang membuatku harus kehilangannya.
Sinar matahari menusuk sela dedaunan yang menyejukkan hati. Kami semua membongkar tenda pukul 10 pagi. Acara perkemahan itu adalah acara pelepasan siswa anak kelas 12 yang baru saja selesai bergulat dengan soal-soal. Mungkin hatiku benar-benar harus merelakannya. Cenzo kelas 12 dan dia akan pergi mencari sekolah yang lebih tinggi. Aku harus mengubur perasaanku dalam-dalam lagi setelah menampakannya di hadapan semua siswa. Walaupun begitu aku tak merasa malu, hanya saja kecewa karena Cenzo meninggalkanku.
Hari-hari di SMA berubah seketika saat anak kelas 11 naik ke kelas 12. Semua tampak beda dari biasanya. Tak ada lagi seseorang yang mampu membuatku takjub melihat senyumannya. Tak ada lagi seseorang yang mampu membuatku lari sangat kencang saat melihatnya. Tak ada lagi seseorang yang membuatku diam mendengar suaranya. Tak akan pernah ada lagi. Hanya sisa-sisa harapan mati. Yang tak tau kapan ia akan pergi. Cenzo tak bisa menghargai perasaanku yang lebih padanya. Aku mengira kita mempunyai perasaan yang sama, saling cinta. Hal itu terus berlangsung lama, hingga akhirnya kelulusan tiba.
Weekend aku melukis di tengah ilalang belakang rumah. Entah mengapa tanganku ingin sekali menggoreskan canvas itu dengan wajah Cenzo. Aku mengikuti alur pensil itu. Wajah Cenzo mulai terlihat. Itu yang membuatku tidak bisa melupakannya. Aku teringat janjiku padanya, bahwa aku harus bisa menggambar wajahnya dengan sempurna.
"Itu gambar aku ya?" Tanya seseorang di belakangku. Mengenakan kemeja kotak-kotak, memakai kacamata yang membuatnya semakin tampan. Aku berdiri melihatnya. Apakah benar dia Cenzo. Apakah benar dia kembali untukku?
"Cenzo??? Untuk apa kamu kembali jika kamu membawa pedih lagi? Kamu tau gak aku benci disakiti. Sangat benci! Tapi kenapa kamu melakukan ini? Ini yang disebut mengerti perasaan? Aku capek disakiti. Aku capek menanti harapanku yang tak kunjung pasti." Marahku, dia memegang tanganku yang penuh dengan warna-warni cat.
"Maafkan aku membuatmu menunggu terlalu lama. Maafkan aku membuatmu kecewa. Maafkan aku jika ternyata juga aku mencintaimu dalam diam. Maafkan aku tak sempat mengatakannya. Maafkan aku tak mengenalkannya. Maafkan aku tak menjelaskannya. Maafkan aku atas semua perbuatanku yang menyakiti hatimu Olive. Jujur aku lebih dulu mencintaimu sebelum kamu mencintaiku. Kufikir kamu tak pernah bisa berubah dengan sikap manjamu. Tapi sekarang aku yakin kamu yang terbaik. Aku tau aku terlalu jahat untukmu. Aku tau mungkin kamu membenciku. Sekali lagi maafkan aku telah meninggalkanmu."
"Tapi kamu pergi. Dengan cewek itu, berpegangan tangan dengannya. Apa itu tidak terlalu sakit bagi cewek sepertiku? Aku tau aku gengsi mengatakan cintaku ke kamu. Aku lebih memilih menguburnya dalam diam. Tak ada yang tau aku mencintaimu. Tapi nyatanya, saat ku bilang rasa ini padamu, kamu tidak menanggapi hal itu dengan serius. Mungkin bagimu aku anak ingusan yang hanya bisa menyusahkanmu. Aku memang orang yang susah percaya dengan cinta. Karena aku tak pernah sekalipun mengenal cinta lebih dalam. Tapi saat bersamamu semua berbeda. Aku tau, aku tak pantas untukmu. Dan akan lebih baik lagi jika kamu melupakanku Cenzo."
"Enggak akan pernah, sekalipun kamu yang memintanya. Aku tau kalau aku hanya bisa menyakitimu. Tapi aku melakukan semua untukmu. Aku merasa bangga telah mengenalmu. Selama di SMA aku cuek sama kamu, karena aku takut kamu akan melihat cintaku. Aku takut kamu akan meledekku seperti saat itu. Saat di perpustakaan, sebenarnya aku sangat senang membantumu mencari buku melukis. Aku ingin terlihat tak peduli denganmu. Aku belajar apapun hal yang kamu sukai. Apapun itu walaupun kedengarannya sulit bagiku. Dan saat kita ditugaskan mengambil air di sungai oleh pembina. Itu bagian dari rencanaku agar aku lebih dekat denganmu. Dan yang paling aku kagumi adalah saat kamu membuka semua isi hatimu untukku. Membuka pintu hatimu yang sebelumnya kau tutup rapat-rapat untuk cowok seprtiku. Membuka terang-terangan walaupun aku tau kamu gengsi mengatakannya. Aku sangat sedih jika harus berpisah denganmu. Aku ingin merasakan satu tahun lagi SMA denganmu. Ingin sekali jika waktu bisa berputar ke belakang lagi. Maafkan aku dengan sandiwara cintaku."

Cenzo memelukku dengan sangat erat. Memberikanku lukisan wajahku sendiri dengan buatan tangannya. Aku tak percaya apa yang dia lakukan untukku saat ini. Ini mimpi yang sangat nyata. Harapanku yang sempat mati kini kembali. Menemuiku lagi. Dengan harapan yang lebih pasti. Seperti biasa Cenzo membawa gitarnya. Memetiknya dan bernyanyi dengan suara lirih tapi membekas di hati. Dia bernyanyi untukku. Hanya untukku. Cenzo kembali, cintaku hadir lagi. Bersyukur aku tidak sempat melupakanmu Cenzo. Bersyukur Tuhan mempertemukan aku denganmu lagi. Kali ini aku tak akan pernah mengecewakan Cenzo dengan sifat manjaku. Jika mencintainya adalah salah, aku tak ingin menjadi benar dalam hal itu. Tak akan pernah ingin! Dalam diam aku mencintainya. Dalam diam aku kehilangannya. Dalam diam aku memendam semuanya. Dan aku sadar, dalam kata aku akan melihatnya. Dalam kata aku masih menyimpan cintanya. Dalam kata dia akan kembali dengan sendirinya. Dalam kata cinta ini terucap yang sejujurnya. Mencintaimu adalah kesempurnaan yang tak bisa terucap dengan kata-kata, tak bisa terdengar jika hanya menggunakan telinga, dan tak bisa terlihat jika hanya menggunakan mata. Serta tak bisa terasa jika hanya menggunakan tangan yang memegangnya. Peran hatilah yang paling penting! Selalu! Setiap saat! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar