Rabu, 06 Agustus 2014

Kembali Pergi


Aku tak pernah tau dunia baruku. Yang ku tau sekarang aku disini bersama hobby ku. Memang basket pilihan paling tepat untukku sekarang. Berlarian kencang, kesana kemari, memasukkannya ke ring, dan terlahir sebagai juara. Itu merupakan kesenangan sendiri untukku. Aku dapat bebas menikmati indahnya dunia ini. Tapi ini tak sebanding dengan rasa senangku saat pertama kali mengenal Gio. Saat itu aku melempar bola sangat keras hingga membentur kepalanya. Sontak rasa panik dan sesal hinggap di otakku. Aku menemaninya di UKS. Sebelumnya tak pernah ku fikirkan aku akan berurusan dengannya, satu-satunya cowok paling sombong di sekolah. Aku juga tak pernah terfikirkan dengan cara ini aku mengenalnya. Setelah beberapa jam dia sadar, dia tersenyum. Entah apa yang membuatnya tersenyum semanis itu.
"Maaf... Aku tak pernah ingin melempar bola itu ke arahmu, aku tak pernah mau punya urusan denganmu. Katakan apa yang mesti ku lakukan untukmu?"
"Cukup menjadi temanku sampai luka ini sembuh, aku akan memaafkanmu."
Aku mengangguk tanda setuju. Aku merasa bersalah dengannya jika aku tak menemaninya. Entah apa yang ada difikirannya. Apakah dia akan menjailiku sepoerti dia menjaili teman-temannya? Aku tak peduli, yang jelas aku ingin menebus rasa bersalahku. Aku merasa kasihan dengannya, gara-gara aku kakinya menjadi terluka karena terbentur dan harus memakai tongkat. Dan gara-gara aku juga dia tak bisa menunjukkan bakat kecilnya untuk ayahnya.
"Ayah sekarang tak bisa lagi percaya denganku. Bahkan dia melarang ku untuk mengembangkan hobby bermain gitarku. Dia bilang itu suatu hal sia-sia. Padahal saat itu kesempatan untukku, menunjukkan bakat terpendam ini. Sekarang harapanku kandas karena bola basketmu. Ayah sudah pergi ke luar negeri dan aku tak tau kapan dia akan pulang lagi."
"Sekali lagi, maaf... Aky tak pernah tau itu. Harapan besarmu hilang karena ulahku. Dan sekarang kamu tak bisa bermain gitar lagi." Dia berusaha bersikap tenang walaupun aku sangat tau hatinya pedih. Aku tak pernah tau bahwa cowok yang terlihat sombong dan angkuh seperti dia mempunyai cita-cita besar membanggakan ayahnya dengan bakatnya. Padahal selama ini, yang ku tau dia sangat menyebalkan.
Aku pernah berfikir aku akan menyesal mengenalnya. Tapi kenyataannya aku merasa nyaman dengannya. Dia cowok baik dan tegar. Dia tidak menjailiku sama sekali. Dia hanya memintaku untuk menemani hari sepinya. Orang tuanya tak pernah peduli dengannya. Hanya sibuk dengan urusan pekerjaan mereka. Sekarang aku tau, inilah sosok Gio sebenarnya. Bahkan dia tidak marah denganku walaupun aku penyebab rusak rencananya. Aku bersamanya, bukan sekedar menemaninya. Aku bercanda tawa dengannya, aku berlatih bermain gitar dengannya, aku membantunya berjalan tanpa tongkat. Hingga akhirnya kakinya benar-benar sembuh. Dan aku harus meninggalkannya.
"Terima kasih Rena. Teman yang selama ini selalu bersamaku. Menemani setiap langkahku hingga aku dapat berjalan kembali. Aku takkan pernah lupa. Apapun yang kamu lakukan untukku, akan selalu ternilai dihatiku. Sekali lagi terima kasih. Walaupun aku tau persis kamu tak pernah ingin mengenal cowok sombong sepertiku."
Dan dia melangkahkan kakinya untuk menjauh dariku. Dia tau tentang fikiranku yang tak pernah ingin berteman dengannya.
Aku pulang menyusuri jalanan tepi sawah. Ku lihat kakek tua memikul air yang ia ambil dari sungai terjatuh. Aku iba melihatnya dan aku membantunya. Walaupun baju seragamku harus basah, tapi hatiku bergerak untuk membantunya. Ada saatnya aku akan seperti kakek itu, memikul beban berat dengan kedua tanganku. Aku menyesal, selama ini berfikiran salah tentang Gio. Tapi aku takut jika harus berteman dengannya lagi, sedangkan dia tau aku tak ingin mengenalnya.
Esok hari aku terlambat masuk sekolah. Aku berlari dan ini memang benar-benar terlambat. Satu menit yang lalu gerbang ditutup. Aku terus meminta satpam membukanya walaupun aku tau ini sama sekali tak berguna. Gio ada di belakangku, menarik tanganku, dan mengajakku ke belakang sekolah. Dia juga terlambat dan kami memanjat gerbang belakang sekolah. Gio tersenyum, dia menggandeng tanganku menuju kelas. Aku dan Gio memang satu kelas yang sama. Tapi sebelumnya aku tak pernah ada hubungan lebih dengan Gio, selain tak pernah mengenalnya. Kami memasuki pintu kelas dan disambut hangat oleh pak guru.
"Wow... Yang sebelumnya tak pernah saling kenal menjadi sedekat ini. Teman apa pacar kok masuk kelas saja berpegangan tangan? Ayo murid-murid tepuk tangan dong untuk pasangan baru di kelas ini."
"E...enggak kok pak, aku sama Rena enggak ada hubungan lebih. Bahkan Rena tak pernah ingin mengenalku." Tegas Gio melepaskan genggamannya dari tanganku.
"Enggak usah bohong Gio, kami semua tau. Oh iya, karena kalian couple baru dan juga karena kalian terlambat masuk kelas. Bapak akan kasih suprise untuk kalian. Suprise yang membuat kalian masih tetap akan berdua. Sekarang kalian ke lapangan, berdiri tegak, dan nikmati masa hukuman kalian."
Sudah ku duga kata itu muncul untukku dan Gio. Alhasil, kami sekarang berada di lapangan, berjemur di bawah teriknya panas matahari. Walau terkadang peluh membasahi pipi. Gio hanya tersenyum tanpa memulai kata sedikitpun. Mungkin dia beranggapan aku tak ingin mengenalnya. Aku ingin sekali mengatakan ada yang beda tentang pendapatku yang dulu. Gio, aku ingin mengatakan kalau aku masih ingin menjadi temanmu. Bukan diam-diam saat aku sedang bersamamu. Pikiranku buyar, pengelihatanku pudar, dan akhirnya aku berada di UKS sendirian tanpa Gio. Aku kesal dengannya, kenapa dia meninggalkanku saat aku pingsan. Aku bangun, berdiri, dan melangkahkan kaki saatku dengar petikan gitar memecah heningnya suasana. Aku mengintipnya saat sedang memainkan gitarnya. Aku tak menyangka dia diam-diam menungguku dari luar. Gio memainkan gitar dengan alunan yang sangat indah. Terdengar merdu dan mengusik kalbu. Dia tampak kece dengan penampilan itu. Aku mendekatinya, ku sentuh pundaknya.
"Aku cuma mau bilang, maaf kalau selama ini aku bersikap cuek padamu. Entah kamu percaya atau tidak yang jelas pemikiranku sekarang beda dengan pemikiranku yang dulu tentang kamu. Dulu memang aku berfikir aku tak pernah mau mengenalmu. Tapi saat aku melihat ketulusan ada padamu, aku yakin kamu bukan sosok yang ada di fikiranku dulu. Kamu lebih mendekati kata sempurna untuk itu. Aku yakin kamu bukan cowok sombong dan angkuh seperti yang ku lihat jauh hari lalu. Kamu cowok kuat, cowok tegar, dan aku bangga mengenalmu. Aku ingin kita menjadi teman, bukan menjadi seperti tak kenal."
"Terima kasih Rena. Aku percaya dengan pemikiran barumu tentang aku. Aku tau butuh keberanian tinggi untuk mengatakkan itu. Dan aku sangat ingin berteman denganmu. Bahkan itu impianku sejak lama. Aku kagum dengan kamu sejak pertama kali aku melihatmu. Kamu terlihat cantik dengan hatimu. Dari dulu aku ingin sekali kita menjadi teman, tapi aku takut untuk itu. Aku tau kamu tak pernah ingin mengenalku. Tapi saat ini, kamu ingin menjadi temanku. Dan aku sangat menghargai itu."
Aku tersenyum, dia sangat baik padaku. Aku menunjukkan kelingkingku tanda persahabatan telah dimulai. Bola basket itu membuatku mengenal cowok kece itu. Aku tak menyangka bahwa aku akan sedekat ini dengannya. Kami selalu bersama, menghabiskan waktu hanya berdua. Mengajarinya bermain basket. Membaca buku di perpustakaan saat istirahat. Dan aku sadar aku telah hidup dalam cinta. Aku menyayanginya. Aku menyusuri lorong waktu setiap harinya dan masih bersamanya. Hingga kami duduk di bangku kuliah. Setiap roda kehidupan kita jalani bersama. Apapun yang terjadi, berada di bawah ataupun di atas.
Entah menapa perlakuan Gio sedikit berbeda tentangku. Dia mengajakku mendaki puncak yang membuatku semakin letih.
"Kamu tau ini hari apa? Bahkan karena kamu selalu sibuk, kamu lupa. Happy Birth Day Renata Daniswara. Aku tau mungkin ini terlalu sederhana. Aku membuatmu letih karena harus menaiki puncak. Tapi aku pengen kamu lihat indahnya matahari terbenam. Aku ingin kamu bangga dengan perjuanganmu."
"Kamu ingat tentang tanggal ini? Tuhan, maafkan aku, aku lupa dengan hari dimana engkau pertama kali mengizinkanku melihat dunia. Terima kasih Gio. Disaat semua orang lupa akn hal ini, kamu selalu mengingatkannya. Aku sadar harusnya dalam menanggapi hidup tak perlu mengeluh. Karena aku tau, ini hasilnya, hasil paling indah karena usahaku. Aku bersyukur Tuhan mempertemukan aku denganmu. Aku berharap aku akan terus bersamamu. Aku harap kamu yang terakhir untukku, untuk menjadi sahabat terbaikku. Dan aku berharap aku tidak akan pernah mengecewakanmu. Karena hal itu, aku selalu yakin kamu yang terbaik untukku. Ingatlah saat semua orang menjauhimu karena kesalahanmu. Aku orang pertama yang akan menghampirimu. Mengusap air matamu sekaligus memperbaiki semua kesalahanmu. Hidup memang berat jika kita tak bisa menikmatinya. Walau terkadang duka itu ada mengiringi kita. Tuhan pasti telah merencanakan semuanya. Tuhan tak akan mungkin memberi cobaan yang hambanya tidak sanggup menghadapinya. Kamu selalu sebagai bintang yang mengiringi gelapku. Sebagai awan yang selalu mengiringi setiap langkahku."
"Aku tau Renata"
Dia mengambil gitarnya dan memulai memetiknya perlahan. Gio bernyanyi untukku. Aku senang mendengar suara lirihnya. Gio adalah malaikat tak bersayap yang mampu mengubah hidupku lebih dari sempurna. Membuatku selalu merasa nyaman dengannya. Setiap hal yang ia perbuat, dia selalu menyadarkanku. Bahwa hidup itu ajaib. Hidup itu misteri. Dan hidup itu harus dinikmati. Karena sesungguhnya dalam hidup, terselip cinta abadi.
Suatu hari, saat ku tengah asik memandangi langit biru Gio menelponku. Mengajakku ke rumah makan yang ia janjikan. Aku mengiyakan karena aku sangat senang. Menyiapkannya dengan sebaik mungkin. Memilih baju dengan warna kesukaannya. Aku berfikir, apa yang akan ia katakan. Malam pun tiba, mengiringi setiap langkahku untuk bertemu dengannya. Aku berlari karena itu satu satunya pilihan paling tepat untukku. Tiba-tiba lampu terang menyilaukan mataku tepat di depanku dan hasilnya aku terbujur kaku di rumah sakit. Aku tak mampu lagi bertahan lama, kakak menyampaikan surat terakhirku untuk Gio.
Untuk Gio cowok Kece yang selalu ku kagumi
Saat itu aku memang benar-benar tak tau dengan apa aku menemuimu. Aku tau kamu menunggu, dan aku tau hujan pun menjumpaimu. Aku merasa diriku adalah yang terbodoh jika aku tak menghampirimu. Saat itu juga aku menyusuri jalanan itu. Yang semula hanya berjalan tetapi aku memutuskan berlari. Dan akhirnya peristiwa tak di duga itu terjadi. Entah mengapa aku bukan bersamamu tapi aku bersama dokter terbaring lemas tak berdaya. Harapanku malam itu pudar seketika. Aku bingung dengan cara apa aku akan menjelaskan ini. Aku terus memikirkanmu. Aku tau kamu marah akan hal itu. Dan aku meminta kakak menemuimu dan memintamu untuk berhenti mencari dan mencintaiku. Ku tulis surat ini agar kamu paham. Agar kamu mengerti, takdir memang berkata tidak pada kita. Karena aku tak pernah tau sampai kapan aku berjuang untuk rasa sakitku. Aku ingin lalui setiap detik bersamamu, tapi ini memang yang sebenarnya terjadi. Aku tak akan pernah bisa melawannya. Karena Tuhan telah merencanakannya. Aku tau keputusan Tuhan yang terbaik untukku dan untukmu. Dan ini memang sudah menjadi skenerio Tuhan. Aku tak bisa bertahan lama denganmu. Karena aku harus meninggalkanmu. Cinta bukan untuk dilupakan, tapi disimpan. Bukan juga untuk dibuang, tapi dikenang. Karena aku ingin kamu bangga dengan pertemuan kita, bukan menyesalinya. Aku harap surat terakhir ini membuatmu percaya kalau aku benar-benar tidak bersamamu sekarang, esok, bahkan seribu tahun lagi. Karena aku sadar, aku tak akan pernah bisa memilih untuk tetap tinggal. Belajarlah mencintai yang lain untukku. Terima kasih atas cinta dan semua yang pernah kamu lakukan untukku. Aku sangat menghargai itu tapi tolong berhenti mencintaiku Gio. Karena ini hanya beban yang tak bisa membuatmu bangkit dari keterpurukan. Aku harap saat aku tak pernah lagi bersamamu, kamu tak akan menghiasi pipimu dengan tangisan. Karena sejujurnya aku masih tetap ingin melihat tawamu lagi. Gio, satu hal yang harus kamu tau, beginilah caraku untuk mencintaimu.
TERIMA KASIH GIO SEMUA YANG KAMU KASIH BUAT AKU, TAK AKAN BERAKHIR SAMPAI DISINI!
"Rena aku tau ini yang terbaik untukmu. Aku tak akan egois membiarkanmu tetap bersamaku sedangkan kamu merasa kesakitan. Aku akan mengerti dan menerima keputusan Tuhan yang memang berat untukku. Pada mulanya aku beranggapan, aku orang yang paling menyesali kepergianmu, karena aku yakin kamu satu-satunya cinta yang aku punya. Tapi dari situ aku menyadari pada akhirnya aku memang harus benar-benar berfikir kedua kalinya untuk pemikiran itu. Karena aku tau, tangisku hanya membuatmu lebih terluka Rena. Ini hal terberat yang pernah ku rasakan untuk ke dua kalinya. Tapi dari sini aku belajar mengiklaskan orang yang memang bukan untukku. Walau cinta ini terlalu besar untuk hal itu. Aku belajar mengiklaskan semua tentangmu. Karena air mataku tak pernah lagi ternilai untuk itu. Rena, tapi kamu salah jika beranggapan aku tak bisa bangkit jika masih menyimpan cintamu. Aku mencintaimu, bukan untuk menjadikan diriku orang tak berguna lagi. Aku lebih bisa bangkit dengan cinta yang membuat aku kuat hingga saat ini. Aku tak akan menangis. Tapi Rena, aku ingin melihat senyum terakhirmu. Karena dengan cara itu aku akan iklas menerima kepergianmu. Dan dengan cara itu aku akan mengenal dunia baruku dan ku awali tanpa kamu di sisiku. Renata, aku tak pernah ingin kamu pergi. Kamu harus tau, kepergianmu tak akan membuatku menyerah mencintaimu. Aku merasa setiap detik, menit kamu selalu bersamaku. Sesuatu yang selalu baik-baik saja harus berakhir dengan penyesalan. Aku menyesal diam-diam mencintaimu. Aku menyesal menunda-nunda waktu untuk mengatakannya. Tuhan, ajari aku menjadi seprti yang Rena minta. Aku tak ingin dia pergi membawa duka. Tuhan, aku sayang Rena, jaga dia untukku. Biarkan dia tersenyum. Andai aku dapat bertemu dengannya lagi. Aku akan lebih mengerti arti pentingnya setiap detik bersamanya. Aku ingin merasakan kedamaian. Aku tau Tuhan, cinta tak selalu berakhir bahagia dengan orang yang benar-benar kita cinta. Andai aku bisa lebih memahami isi hatinya. Andai aku tak terlalu memaksa kehadirannya malam itu. Andai aku mengatakan lebih dulu perasaan yang ku pendam selama ini. Rena, kenapa kamu begitu yakin aku akan kuat menghadapinya. Menerimanya pun aku tak sanggup"
Aku tau dia ingin menangis, tapi dia menahannya. Aku tak bermaksud membuatmu menjadi seprti yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Gio, jauh dari sini aku sangat merindukanmu. Aku ingin memelukmu dengan kedua tanganku. Aku ingin melihatmu seperti saat pertama kali kamu mengenalku. Beberapa hari Gio terlihat murung. Dan akhirnya dia bangun dari lamunnya tentangku. Dia berlari kencang, entah kemana dia akan pergi. Dia menapakkan kaki ke jembatan tengah laut yang sangat indah. Dia berteriak, berulang kali memanggil namaku.
"Aku yakin kamu mendengarnya Rena! Dan aku tau, aku harus berbuat apa untukmu!"
Dia pergi ke tempat yang tak asing lagi. Tempat biasa kita bersama. Menghabiskan waktu luang berdua. Gio meniup lima balon berbentuk hati. Dan bertuliskan RENATA DANISWARA AKU SANGAT MERINDUKANMU! Begitulah caranya meluapkan kesedihannya.
"Sempat aku berfikir malam itu akan menjadi malam terbaik sepanjang masa. Aku menantikanmu bersama hujan yang mengguyur tubuhku. Memegang cincin dan bunga yang sudah rusak terkena air hujan. Aku menunggumu terlalu lama. Dan anehnya aku marah karena rencanaku gagal. Tulisan I LOVE RENA hancur tersapu hujan. Tubuhku kedinginan diterpa angin liar. Aku marah padamu karena kamu tidak datang hari itu. Semenjak saat itu kamu tak pernah menemuiku, justru kakakmu memintaku untuk berhenti mencintaimu. Aku tak tau maksudmu saat itu. Aku terus mencarimu dan akhirnya kakakmu memberi sepucuk surat yang memang ditujukan untukku. Ku baca isinya, dan setiap detail kata-katamu yang menandakan kamu pelah pergi lebih dulu. Dan sejak saat itu hingga saat ini aku masih tetap mencintaimu. Aku tau tuhan mendengar setiap alunan kataku. Terima kasih Tuhan, walau aku hanya melihat senyum kecilnya di mimpi. Itu lebih dari cukup membuatku untuk bangkit lagi. Dan aku akan menjalani hidup baruku tanpa raga Rena tetapi bersama cintanya yang masih tersimpan. Aku akan belajar mencintai orang lain seperti yang Rena minta. Meskipun bagian tersulit dari diriku adalah kehilanganmu. Aku tak akan menyerah dengan keadaan. Aku berharap, kamu senang dengan apa yang telah aku lakukan untukmu. Dan aku berharap, kamu tak kan pernah lupa denganku, si cowok kece Gio Septiano." Kata Gio melihat-lihat foto kenangan kami.
Dia meletakkan kameranya yang masih menyala dengan foto aku dan dia. Dan aku sadar, saatnya aku merelakannya untuk yang lain. Salah satu caraku yang sama dengannya adalah mencintai dalam diam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar